Kamis, 06 November 2014

Inilah Hidup, Deh!

“Mamah, Bapa.. Bumi teh meni sararempit.” (Mamah, Bapa.. Rumahnya sempit banget.)
“Mamah, Bapa, tingali korsi na meni tos awon kieu.” (Mamah, Bapa, lihat kursinya udah jelek.)
Mamah, Bapa, hoyong liburan atuh, bete dibumi.” (Mamah, Bapa, pengen liburan, bete dirumah.)

Dan berbagai keluhan lainnya tentang rumah, kendaraan, liburan seringkali aku dan adikku lontarkan kepada orangtua selama beberapa tahun terakhir. Memang, keluhan itu seringkali hanya sekedar candaan pun orangtuaku demikian.

Hari ini, berbagai peristiwa telah menamparku, menampar kebiasaan mengeluhku.
=====
Hidup tak se’simple’ yang kubayangkan.

Sejak aku berusia 3 tahun, orangtuaku sudah memiliki rumah. Meskipun sederhana, tetapi layak dihuni. Keluargaku hidup rukun. Tidak pernah ada pertengkaran yang berarti. Orangtua begitu menyayangiku, pun seringkali memberikan apa yang kuinginkan. Keluarga besarku pun demikian, mereka sangat menyayangiku.

Simple. Hidup itu sederhana, aku hanya perlu sekolah sampai sarjana setelah itu mengajar seperti ayahku, mendapat gaji, menikah, mengurus rumah tangga, punya anak, mengasuh anak, simple kan?” Bayangku ketika masih kecil.

Selama hampir lima tahun merantau, pemahaman tersebut terus terkikis seiring semakin matangnya psikisku. Banyak kisah hidup yang membuatku bersyukur dan menyadari bahwa “hidup itu tidak mudah, butuh perjuangan.” tetapi sungguh, keluhku masih lebih banyak daripada syukurku.

Dan hari ini, aku mendapatkan pelajaran yang amat berharga tentang “hidup”.

=====
Bersama beberapa teman, aku mengunjungi rumah adik binaan. Letaknya masih di jantung Kota Bandung. Jauh dari apa yang kubayangkan, rumahnya amat sangat sederhana. Hanya ruangan kecil bahkan jauh lebih kecil dari kamar kost ku, dihimpit oleh bangunan-bangunan lain dan terasa sedikit lembab. Didalamnya terdapat tiga lemari baju berukuran kecil, satu lemari es, televisi di atas salahsatu lemari baju, dan perabotan rumahtangga lain yang disusun di atas lemari-lemari tersebut. Kompor dan peralatan masak lainnya disimpan diluar rumah, tepat didepan jendela yang otomatis sedikit mempersulit jalan masuk kerumah.

Adik binaan tersebut  terdaftar sebagai salahsatu adik beasiswa. Ia sangat cerdas. Aktif dalam kegiatan, ramah, selalu hormat kepada kakak-kakak pembinanya dan disekolahpun ia selalu masuk kedalam tiga besar. Tidak sedikitpun aku melihat pesimistis dalam sorot mata ibunya. Ia semangat mendukung kegiatan anaknya, memfasilitasi anaknya belajar –meski sederhana.

“Subhanallah, subhanallah, subhanallah” hatiku menangis, kesakitan. Bagaimana mungkin aku mengeluh dengan kondisi yang jauuuuuh lebih baik dan saaangat sangat harus disyukuri.

======
Kunjungan kedua dihari yang sama, pun di lokasi yang berdekatan dan kondisi yang nyaris sama. Adik tersebut adalah adik beasiswa juga. Sungguh pintar. Selain hobi bermain sepakbola, ia sangat tekun mempelajari al-Qur’an dan menghafalnya. Ia tinggal di kostan bersama ibunya. Hanya berdua. Orangtua mereka berpisah ketika usianya menginjak 6 bulan dan sang ayah tidak pernah menemuinya lagi. Padahal ‘kelahiran sang anak’ sangat ditunggu-tunggu, bahkan mereka menunggu sampai 15 tahun untuk dikaruniai seorang anak. Tetapi setelah Allah menjawab do’a-do’a mereka, sang suami pergi bersama perempuan lain dan sang istripun berdiri paling depan dalam mendidik dan membesarkan anaknya, tegar sekali.

Subhanallah... Kurang apalagi kamu, Deh? Sudah dikaruniai keluarga yang sangat menyayangi, difasilitasi untuk setiap keinginan dan cita-citamu. Akankah kamu tetap mengeluh? Malu, sangat malu.

=====
Dulu, aku hanya melihat kondisi demikian dalam televisi. Hari ini, Allah memperlihatkannya langsung didepan mataku pun dalam kehidupanku (karena mereka bagian dari hidupku).

Hari ini, Allah memberi peringatan kepadaku, halus sekali namun cukup membuat hatiku sakit, sakit sekali. Betapa hidup itu tidak semudah yang kubayangkan. Betapa amat banyak nikmat Allah yang luput dari syukurku. Betapa dzalimnya aku, betapa oh... aku bukan siapa-siapa dan belum mampu melakukan apa-apa.


Alhamdulillah, alhamdulillah. Allah mempertemukanku dengan mereka, sungguh bahagia yang amat mendalam. Alhamdulillah. “Maka nikmat Tuhan-Mu yang mana kah yang kamu dustakan?”.

Buka Mata Hati, Luruskan

Tak ada yang abadi, memang
Termasuk pencarian kebenaran

Dulu kita membenarkan apa yang kita anggap benar
Menurut pengalaman belajar kita
Dan belum tentu itu benar –seutuhnya

Dulu kita belajar apa itu benar
Lalu sekarang menyalahkan yang benar
Dan membenarkan yang salah

Belajar tidak ada batasnya
Lihatlah lebih luas
Bukan hanya dari sudut pandang yang kita miliki
Benarkan yang benar
Salahkan yang salah

Kita tidak kalah karena salah
Selama masih ada kesempatan
Kita kalah kala membenarkan yang salah
Dan menyalahkan yang benar

Aku sakit hati melihat caramu menatap perjalanan kita, kala itu

Ayolah, masih ada kesempatan, kawan..

Gegerkalong Girang, 5 Nov’ 14
Ditulis dengan penuh cinta,
Dariku, untukmu, kawan

Mari buka mata hati..