“Mamah,
Bapa.. Bumi teh meni sararempit.” (Mamah, Bapa.. Rumahnya
sempit banget.)
“Mamah,
Bapa, tingali korsi na meni tos awon kieu.” (Mamah, Bapa,
lihat kursinya udah jelek.)
“Mamah, Bapa, hoyong liburan atuh, bete dibumi.” (Mamah, Bapa, pengen liburan, bete dirumah.)
Dan berbagai keluhan
lainnya tentang rumah, kendaraan, liburan seringkali aku dan adikku lontarkan
kepada orangtua selama beberapa tahun terakhir. Memang, keluhan itu seringkali
hanya sekedar candaan pun orangtuaku demikian.
Hari ini, berbagai
peristiwa telah menamparku, menampar kebiasaan mengeluhku.
=====
Hidup tak se’simple’ yang kubayangkan.
Sejak aku berusia 3
tahun, orangtuaku sudah memiliki rumah. Meskipun sederhana, tetapi layak dihuni.
Keluargaku hidup rukun. Tidak pernah ada pertengkaran yang berarti. Orangtua
begitu menyayangiku, pun seringkali memberikan apa yang kuinginkan. Keluarga
besarku pun demikian, mereka sangat menyayangiku.
“Simple. Hidup itu sederhana, aku hanya perlu sekolah sampai sarjana
setelah itu mengajar seperti ayahku, mendapat gaji, menikah, mengurus rumah
tangga, punya anak, mengasuh anak, simple
kan?” Bayangku ketika masih kecil.
Selama hampir lima
tahun merantau, pemahaman tersebut terus terkikis seiring semakin matangnya
psikisku. Banyak kisah hidup yang membuatku bersyukur dan menyadari bahwa “hidup
itu tidak mudah, butuh perjuangan.” tetapi sungguh, keluhku masih lebih banyak daripada syukurku.
Dan hari ini, aku
mendapatkan pelajaran yang amat berharga tentang “hidup”.
=====
Bersama beberapa teman,
aku mengunjungi rumah adik binaan. Letaknya masih di jantung Kota Bandung. Jauh
dari apa yang kubayangkan, rumahnya amat sangat sederhana. Hanya ruangan kecil
bahkan jauh lebih kecil dari kamar kost ku, dihimpit oleh bangunan-bangunan
lain dan terasa sedikit lembab. Didalamnya terdapat tiga lemari baju berukuran
kecil, satu lemari es, televisi di atas salahsatu lemari baju, dan perabotan
rumahtangga lain yang disusun di atas lemari-lemari tersebut. Kompor dan
peralatan masak lainnya disimpan diluar rumah, tepat didepan jendela yang
otomatis sedikit mempersulit jalan masuk kerumah.
Adik binaan tersebut terdaftar sebagai salahsatu adik beasiswa. Ia
sangat cerdas. Aktif dalam kegiatan, ramah, selalu hormat kepada kakak-kakak
pembinanya dan disekolahpun ia selalu masuk kedalam tiga besar. Tidak
sedikitpun aku melihat pesimistis dalam sorot mata ibunya. Ia semangat mendukung
kegiatan anaknya, memfasilitasi anaknya belajar –meski sederhana.
“Subhanallah,
subhanallah, subhanallah” hatiku menangis, kesakitan. Bagaimana mungkin aku
mengeluh dengan kondisi yang jauuuuuh lebih baik dan saaangat sangat harus
disyukuri.
======
Kunjungan kedua dihari
yang sama, pun di lokasi yang berdekatan dan kondisi yang nyaris sama. Adik tersebut
adalah adik beasiswa juga. Sungguh pintar. Selain hobi bermain sepakbola, ia
sangat tekun mempelajari al-Qur’an dan menghafalnya. Ia tinggal di kostan
bersama ibunya. Hanya berdua. Orangtua mereka berpisah ketika usianya menginjak
6 bulan dan sang ayah tidak pernah menemuinya lagi. Padahal ‘kelahiran sang
anak’ sangat ditunggu-tunggu, bahkan mereka menunggu sampai 15 tahun untuk
dikaruniai seorang anak. Tetapi setelah Allah menjawab do’a-do’a mereka, sang
suami pergi bersama perempuan lain dan sang istripun berdiri paling depan dalam
mendidik dan membesarkan anaknya, tegar sekali.
Subhanallah... Kurang
apalagi kamu, Deh? Sudah dikaruniai keluarga yang sangat menyayangi,
difasilitasi untuk setiap keinginan dan cita-citamu. Akankah kamu tetap
mengeluh? Malu, sangat malu.
=====
Dulu, aku hanya melihat
kondisi demikian dalam televisi. Hari ini, Allah memperlihatkannya langsung
didepan mataku pun dalam kehidupanku (karena mereka bagian dari hidupku).
Hari ini, Allah memberi
peringatan kepadaku, halus sekali namun cukup membuat hatiku sakit, sakit sekali. Betapa hidup itu tidak semudah yang
kubayangkan. Betapa amat banyak nikmat Allah yang luput dari syukurku. Betapa dzalimnya aku, betapa oh... aku bukan siapa-siapa dan belum mampu melakukan apa-apa.
Alhamdulillah,
alhamdulillah. Allah mempertemukanku dengan mereka, sungguh bahagia yang amat
mendalam. Alhamdulillah. “Maka nikmat
Tuhan-Mu yang mana kah yang kamu dustakan?”.