“Yap”
“Wah, calon guru nih”
“Engga sih, sebenarnya aku ga tertarik jadi
guru.”
Kalimat percakapan yang terakhir itu,
seringkali terdengar dari mahasiswa di kampus saya sendiri yang jelas sekali
merupakan salah satu kampus pencetak guru
di Indonesia. Sedikit miris mendengarnya (kecuali jika ia memang berada pada
jurusan non pendidikan). Cobalah kita berfikir lebih jernih.
Untuk
apa ada perguruan tinggi pencetak guru?
Jelas untuk melahirkan guru-guru terbaik
yang kelak akan mendidik generasi muda Indonesia.
Ah
tidak juga, yang terpenting kan mahasiswa di perguruan tinggi tersebut belajar,
mendapatkan ilmu, terserah nantinya mau jadi apa yang penting bermanfaat.
Ya, memang itulah yang paling utama.
Belajar. Tetapi tidakkah berpikir, jika memang tujuannya bukan untuk menjadi
guru, kenapa tidak masuk perguruan tinggi lain yang sesuai passion kita saja?
Saya
terpaksa kuliah disini, karena saya gagal di perguruan tinggi yang saya
inginkan.
Jika sudah terpeleset demikian kenapa tidak
berusaha mengikuti jalan yang saat ini jelas sekali ada dihadapan kita? Mungkin
saja diluar sana banyak sekali orang yang ingin sekali berada pada posisi kita
seperti kita yang ingin berada pada posisi mahasiswa di perguruan tinggi yang
kita inginkan. Bukankah sebaiknya kita menenggelamkan diri dalam perguruan
tinggi atau jurusan yang Tuhan pilihkan ini, senantiasa berenang hingga sampai
pada tujuan? Lantas, tidak lupa berdo’a, semoga mahasiswa yang berada pada
posisi yang kita inginkan sebelumnya pun bertanggung jawab dengan jalannya saat
ini dan mampu menjadi apa yang kita cita-citakan tersebut.
Tetapi
lulusan dari jurusan/perguruan tinggi ini ga harus jadi guru kan? Bisa jadi
dosen atau apapun yang masih terkait pendidikan?
Betul sekali. Tetapi dasar kecintaan
terhadap profesi guru haruslah tetap diutamakan, karena itulah dunia kita
sekarang (ketika kuliah) dan mungkin nanti ketika mendapatkan pekerjaan.
Meskipun jika pada akhirnya profesi kita tidak linear sama sekali, setidaknya
kita telah mencintai jurusan yang kita ampu dengan segala apa yang terdapat
didalamnya, termasuk profesi.
Pemahaman seperti ini bukan hanya untuk
perguruan tinggi yang saya ceritakan diatas saja, ini hanyalah sampel. Pada
perguruan tinggi lain pun seyogyanya urusan profesionalitas ini diperhatikan. Bagaimana
jadinya jika kita mengambil lapak orang lain, sedangkan sudah jelas sekali dari
perkuliahan yang kita tempuh itu prospeknya kemana.
Saya pernah menemukan seorang yang tidak
begitu minat terhadap dunia pendidikan, minat tingginya terhadap dunia seni.
Kemudian karena tidak ada pilihan lain, ia kuliah di jurusan pendidikan.
Lantas, ia kuliah dengan semaunya. Kebetulan saat PPL ia mengajar di kelas saya,saat
itu saya kelas 2 SMA. Tidak ada sedikitpun wibawa “calon guru” yang beliau
tampakkan. Tak lebih dari masuk kelas, membacakan
materi, menyuruh berdiskusi sendiri, sedangkan beliau duduk manis di kursi guru
sembari memainkan gadgetnya. Suatu waktu, diskusi kami tidak berujung karena
ada hal yang sulit kami mengerti. Lalu bertanyalah kami kepada beliau. Semenit
dua menit beliau meminta waktu sembari terus saja membuka lembaran buku
pelajaran tersebut. Padahal kami tahu persis penjelasan tersebut tidak ada
didalam buku pelajaran karena kamipun sudah mendiskusikannya sedari tadi. Pada akhirnya beliau memohon maaf dan mengakui
bahwa beliau pun belum memahaminya. Disaat yang lain, dengan sedikit “usil”
temanku bertanya tentang materi yang sebenarnya cukup mudah dan terdapat dalam
buku pelajaran. Seperti sebelumnya, jawaban beliau kurang memuaskan. Lantas
salah satu dari kami menjelaskan dan membuat beliau nampak berkeringat dingin.
Saya dan teman-teman sungguh kecewa, karena
nampak jelas guru PPL tersebut tidak bertanggungjawab terhadap profesinya.
Bahkan membaca materi yang akan disampaikan pun tidak.
Sekali lagi, urusan cinta mencintai adalah
hal yang mendasar. Terlepas dari profesi yang kita dapatkan pada akhirnya. Sudah
semestinya kita bertanggungjawab atas apa yang ada dihadapan kita saat ini. Jangan
sampai disia-siakan atau dikesampingkan.
Tuhan Maha Mengetahui yang terbaik untuk
hamba-Nya.
“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah:216)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar