Jumat, 08 Agustus 2014

Tigasembilan-nya Mamah

Setiap ibu tentulah selalu istimewa dimata anaknya. Begitupun aku pada Mamah. Diusia 18 tahun lebih sekian bulan rahimnya telah terisi janin dan diusia 19 tahun lebih sekian bulan pula dia telah melahirkan seorang bayi perempuan, ya tentu saja itu aku. Hey, diusia yang sama denganku saat ini dia telah merasakan bagaimana suka dukanya mengurusi rumah tangga, beratnya hamil, sakitnya melahirkan dan senangnya menimang-nimang bayi. Diusia itu bahkan aku masih berkeliaran di perantauan, bepergian kesana kemari bersama teman-teman, asyik menikmati masa muda. Ya, mungkin karena kita berada pada zaman yang berbeda, Mah.
Dikarenakan usia kami yang tidak terpaut terlalu jauh, banyak yang mengatakan kami nampak seperti adik kakak. Maka ketika berkomunikasi seringkali aku merasa seperti kepada teman saja, curhat persoalan sekolah, curhat masalah hati (eaaa), saling mengomentari penampilan, dan lain sebagainya. Meskipun tentu saja Mamah sering mengomeliku dan menasihatiku layaknya ibu Tom dan Jerry di film I’m Not Stupid (tidak separah itu juga sih).
Tepat di hari ini, perempuan yang paling istimewa dalam hidupku ini berusia 39 tahun. Ibuku yang kerap kupanggil Mamah. Sudah semakin tua meski kata orang masih terbilang muda tetapi nampaknya sudah pantas menimang cucu (kode :D).
Meski aku sering kesal karena sikapnya yang kadang terlalu protektif terhadap anaknya –terutama kepada adikku- dan sering sekali mengomel, namanya juga ibu ya aku tetap sayang. Sayang bingits. Dibalik kebisuanku untuk memujinya, aku menyimpan kekaguman yang amat mendalam terutama sosoknya yang lincah sekali dalam mengurusi rumah tangga dan juga pekerjaannya. Khawatir sekali ada sikap dan perkataanku yang tidak berkenan dihatinya, maka aku memohon maaf sedalam-dalamnya (waktu lebaran :3).

Semoga Mamah tetap menjadi perempuan tangguh, istri sholehah dan ibu yang –semakin- “baik hati”. Tentu saja Mamah tidak akan membaca tulisan di blogku ini, haha.

Kamis, 07 Agustus 2014

Setahun Sudah ~

Setahun sudah...

02 Juni 2013, setahun lebih dua bulan sekian hari yang lalu, hari peresmian ku sebagai alumni Pondok Pesantren Darussalam. Yeah aku lulus jenjang SLTA. Umurku masih 18 kala itu. Usia dewasa ya? Hmm entah ada atau tidak kedewasaan itu pada diriku.

Setelah itu adalah masa ‘kegalauan’ untuk menentukan dimanakah perantauanku selanjutnya? Singkat cerita, aku berhasil memasuki perguruan tinggi yang aku inginkan plus jurusan yang aku inginkan pula. Maka, ramadhan tahun lalu tersibukkanlah aku dengan persiapan untuk perantauan kedua ini. Registrasi-lah, cari kostan-lah, persiapan ospek universitas serta mempersiapkan barang-barang yang akan mengisi kostan ku nanti. Tak terbayang perasaanku saat itu, ketika hati masih terpaut pada pondok dan kini harus merantau seorang diri? Hmm..

20 Agustus 2013..

Tadaaa... Hai Bandung, aku penduduk baru mu.
Dengan diantar kedua orangtua, adik dan kakekku tibalah aku di kota ini. Kata orang sih, kota kembang, maksudnya apa ya? Apakah banyak kembang (bunga)? Entahlah aku tidak peduli, yang aku pikirkan saat itu hanyalah membereskan barang-barang di kamar baruku. Hey, kamar baru? Aku sungguhan akan merantau seorang diri di kota ini? Tidak lama lagi orangtuaku pulang ke kota asalku, sanak famili yang ada di Bandung (yang kala itu menemui ku di kostan baru) pun satu persatu kembali ke kediamannya masing-masing.

Kurang lebih tiga jam kemudian, kedua orangtua, adik dan kakekku pun berpamitan. Meskipun tiga tahun aku merantau tetapi kali ini dada serasa sesak menahan tangis persis seperti tiga tahun yang lalu di perantauanku yang pertama kalinya. Hmm mungkin wajar, karena tempat perantauanku kali ini teramat jauh dari kampung halaman, lagipula dua bulan terakhir ini kuhabiskan dirumah -yang selama tiga tahun terakhir tidak pernah tinggal dirumah selama lebih dari dua minggu.

Selanjutnya, dingin lah yang kurasa memenuhi hari-hariku di kota ini. Ya, kota ini memang dikenal dengan suhu udaranya yang dingin terlebih daerahku yang berada di kaki gunung (sepertinya). Berhari-hari, berbulan-bulan kemudian dingin itu sudah tidak begitu menyiksaku. Mungkinkah aku sudah kebal dengan dinginnya Bandung?

Selain suhu udara, dingin lain yang kurasakan dikarenakan kekosongan hati tanpa ada yang mengisi, menghangatkan, menyelimuti seperti biasanya. Bagian hati ini bagian hati untuk sesamaku, bukan bagian hati untuk Tuhanku. Setiap hari kuhabiskan dengan berkeliling di dunia maya, merapikan kamar dan melengkapi isinya, ospek, kuliah, baca novel, jalan dan bagian yang paling kutunggu adalah menelpon teman-teman pondokku, teman satu jurusan, teman satu kelas, Program Keagamaan. Benar, aku belum move on. Hatiku masih terpaut erat dengan mereka yang selama tiga tahun terakhir merupakan orang terdekatku, mungkin aku katakan mereka keluarga kedua ku. Selama tiga tahun terakhir, mereka-lah yang setiap hari membersamaiku sejak bangun tidur hingga tidur lagi di semua aktifitas dan di semua keadaan. Senang, sedih, marah, berantem, bercanda, setelah kepada Tuhan, kepada mereka lah semua rasa ditumpahkan, begitupun sebaliknya.

Suatu hari, aku mendapatkan pencerahan (cielah~) dari salah seorang kakak kelas, katanya kurang lebih seperti ini “Bandung memang dingin. Kita tinggal memilih apakah kita akan menyalakan perapian yang menghangatkan atau malah membiarkan jendela terbuka?” (Maaf jika redaksinya salah ya, Kang Ambang haha). Dalam hati, aku mengamini kalimat itu. Selama ini aku sendiri yang membiarkan jendela terbuka hingga udara dingin merasuki hatiku. Kenapa tidak mencari perapian saja?

Akhirnya kutemukan perapian itu. Tepatnya di jalan Ganesha aku menemukannya. Ya, PAS-ITB yang menjadi perapianku hingga saat ini. Kehangatan persaudaraan, kebersamaan -bersama dijalan-Nya, keceriaan dan kehangatan lain serta tentulah kehadiran adik-adik yang lucu dan menggemaskan. Alhamdulillah, alhamdulillah mereka –kakak-kakak PAS-ITB- menjadi perapianku dikala aku menggigil dengan dinginnya Bandung.

Memang benar, ketika saat ini dinginnya udara Bandung tak begitu menyiksaku maka belum tentu suhu udaranya yang semakin panas. Boleh jadi, tubuhku sendiri yang sudah kebal dengan dinginnya atau sudah mengetahui bagaimana cara mengatasi dinginnya tersebut.

======

Setahun sudah...

Bagaimana kabar studiku?
02 September 2013, hari pertama masuk kuliah. Rasanya? Biasa saja. Hanya ada aku yang lebih serius dari biasanya. Bagaimana tidak? Terkejut dengan mata kuliah yang akan kuhadapi terutama Anatomi, Fisiologi dan Genetika. Anatomi? Anatomi tubuh gitu? Menyebutkan bagian tubuh, bagian tulang gitu? Fisiologi? Apapula ini? Genetika? Ngomongin sel-sel saraf? Apasih aku tidak mengenal kalian (-_-) . Keringat dingin mengucur ketika mata kuliah ini berlangsung. Sang dosen yang seorang dokter itu –mungkin- menganggap semua mahasiswa mengenal dasar-dasarnya. Maka dengan lincahnya beliau langsung menjelaskan pembahasan yang lebih tinggi -menurutku- dengan gaya berbicara yang dua arah, tentu saja aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya, aku hanya sibuk berkutat pada buku –yang tidak kumengerti- dan sibuk mencontek catatan teman sebelah.

Alhamdulillah, semester satu kulalui dengan lumayan serius meskipun hasilnya tidak begitu memuaskan karena banyak teman-temanku yang meraih nilai jauh diatasku. Tak apa, kuakui kelemahanku dan nilai sekian sudah lebih dari memuaskan dibanding kemampuanku yang hanya setitik.

Semester dua, aku mulai mendekati perapianku. PAS-ITB. Hey, malah lebih nyaman berada disana, berjumpa adik-adik pula. Alhasil, kuliahku terasa datar saja. Berangkat kuliah, belajar, pulang. Jika ada tugas ya kerjakan (itupun sering mepet deadline). Setelah itu, aku mengikuti kegiatan-kegiatan di PAS –ya meskipun aku nampak seperti anak bawang :3- . Ketika banyak rekan yang absen kegiatan PAS karena mengerjakan tugas, maka itu tidak berlaku untukku. Mengerjakan tugas ya malam hari, jangan sampai mengganggu kegiatan PAS. Haha. Entah benar atau tidak mindset ku itu namun bersyukur semua tugas dapat kuselesaikan meskipun ngasal dan mepet deadline. Hasil akademik semester ini pun tidak begitu jelek.

Hmm...
Mungkin beginilah rasanya akan memasuki tingkat dua. (Memang bagaimana? Apa perbedaannya?) Jawabannya adalah tidak ada bedanya. Haha. Kuliah? Mengikuti alur saja. Doyannya? Bepergian kesana kemari, maen ke tempat-tempat yang belum pernah kusinggahi, ikut kegiatan ini dan itu –terutama kegiatan PAS tentunya-. Sampai-sampai informasi nilai semester dua, bayar UKT, mengontrak mata kuliah, dan lain sebagainya mengenai urusan akademik kampus, aku percayakan kepada teman-temanku, yang pada akhirnya KRS pun lupa aku download dan printout. Terlenakan sekali dengan sistem akademik yang serba online ini. (Terimakasih teman-teman PKh 2013 yang senantiasa saling membantu, terutama Dwi, Yeni, Nurul yang paling sering aku kepo-in).

Entah akan seperti apa studiku di tingkat ini. Apakah tidak ada kekhawatiran di benakku? Oh tentu sangatlah khawatir, melihat nama mata kuliah yang aneh-aneh saja membuatku merinding membayangkan nilai yang berada dipinggirnya nanti. Memperhatikan para mahasiswa tingkat akhir yang berkejaran dengan deadline TeA atau skripsweet mereka, aku terbengong. Bagaimana aku nanti? Bukankah harus disiapkan sedini mungkin dengan kuliah yang serius? Hmm...


Baiklah, setahun sudah perantauanku di Kota Bandung dan aku telah jatuh cinta padanya. Tentulah berharap sekali tahun selanjutnya lebih bermakna lagi, lebih serius lagi menghadapi studiku, bisa hidup lebih mandiri dan bermanfaat bagi orang banyak. Bahkan siapa tahu kutemukan jodohku disini? Eits, jodoh pekerjaan maksudnya. Eummhh boleh deh jodoh kehidupan juga. Haha.