Sabtu, 11 Januari 2014

Segenggam Cita dalam Doa


Awal tahun 2014. Seperti halnya di awal tahun sebelumnya, masa-masa ini adalah masa kegalauan siswa kelas XII. Galau perihal kelulusan di sekolah pun galau menentukan langkah selanjutnya setelah lulus.

 Pertanyaan adik kelas perihal kelanjutan studi melayangkan bayanganku pada memori setahun silam. Akupun pada posisi yang sama. Bingung, ragu dan tidak pede.

 Berawal dari semester pertama kelas XII. Aku memutuskan untuk memilih Pendidikan Luar Biasa di Universitas Pendidikan Indonesia. Memasuki semester kedua, pendaftaran SNMPTN pun dimulai. Galau. Aku tidak tahu apakah ini pilihan terbaik atau bukan ? Yang penting orangtua meridhai. Dengan menetapkan Pendidikan Luar Biasa UPI sebagai pilihan pertama dan Bimbingan Konseling UPI sebagai pilihan kedua, akupun mendaftar SNMPTN. Ini kesempatan emas, karena kita tidak perlu melaksanakan test, cukup dengan nilai raport.

Waktu terus berjalan, tidak berlari dan tidak ngesot sih, tetap satu menit tigapuluh detik. Namun ketika dalam penantian, waktupun terasa begitu lama. Keraguan demi keraguan pun muncul. “bagaimana mungkin dengan basic Program Keagamaan bisa diterima di universitas umum dengan jurusan yang tidak sesuai pula ?”. SPMB-PTAIN jalur PPA pun datang bak malaikat membantu menenangkan kegalauanku. Sontak saja aku mendaftar, tak  ingin ketinggalan apalagi hanya 25 orang dari satu sekolah yang diperbolehkan ikut. Singkat cerita akupun mendaftar dengan tidak begitu yakin, pun tanpa ridho orangtua, hanya karena menjadikannya plan B, “cari aman”, ke UIN Syarif Hidayatullah dengan pilihan jurusan Psikologi, Pendidikan Bahasa Arab dan Sejarah Peradaban Islam.

Jiaaah..tiba juga tanggal 28 Mei 2013. Ya, hari pengumuman hasil SNMPTN pukul 16.00. Sepanjang hari terus saja membayang di benakku, betapa senangnya ketika lulus dan bagaimana jika tidak lulus ? Kegalauan pun bertambah karena hari itu ada jadwal pengajian,  itu artinya kita tidak bisa membuka langsung hasilnya pada saat itu !! untungnya, ada Pak Fani Rahman yang sangat setia dengan semua perihal SNMPTN. Sekitar pukul 5, akhirnya kami pun mengetahui hasilnya. Dan aku, gagal kala itu. Mata ini ingin menangis namun tak sanggup. “Masih ada SPMB-PTAIN dan coba daftar SBMPTN” pikirku. Aku masih begitu ingat salah seorang sahabatku, Azka yang membisikkan sesuatu "Kita harus menang didalam kekalahan. Salahsatu caranya, kita ucapkan selamat kepada yang lulus dengan bibir tetap tersenyum". Hmm... meski sulit aku ikuti saja perkataan dia, karena tidak ingin menjadi seorang yang benar-benar "kalah".

Dua hari kemudian, pengumuman SPMB-PTAIN. Tak  disangka, aku diterima di jurusan Sejarah Peradaban Islam. Aku senang bercampur bingung. “bagaimana ini ? haruskah diambil sedangkan orangtuaku kurang menyetujui ?”. Dan pada hari itu pula aku berencana untuk mendaftar SBMPTN. Dengan segenap kebingungan yang melanda, akupun mendaftar SBMPTN. Namun aku sudah pesimis akan berhasil di SBMPTN, karena harus melalui test tulis dengan kelompok ujian Sosial Humaniora. “bisa apa aku ? belajar IPS pun hanya sampai kelas X” pikirku.

Begitulah hari-hariku selanjutnya, galau dan galau. Aku sudah sangat tertarik dengan UIN Syahid, namun orangtua keukeuh tidak mengizinkan. Okelah, dengan segala pertimbangan dan kegalauan juga melalui perdebatan dengan orangtua, akhirnya aku menetapkan pilihan “Tidak akan mengambil kursi yang tersedia di UIN Syahid, akan berusaha lolos SBMPTN –sesuai dengan cita-cita awalku-. Konsekuensi jika tidak lolos, aku akan menetap di pondok tercinta dan kuliah di Institut Agama Islam Darussalam.”

Hari-hari berikutnya aku rasa lebih enteng, karena aku sudah memiliki tekad untuk tidak jatuh ketika tidak tercapai, karena aku siap menetap di pondok, namun demikian aku tetap berusaha dengan berbekal buku latihan soal SBMPTN dan do’a dari semua pihak.

Singkat cerita –yah, jika tidak disingkat aku takkan berhenti bercerita-, test SBMPTN pun dimulai, selama dua hari. Sudah bisa ditebak bukan, bagaimana aku mengerjakannya ? Pada test pertama, test potensi akademik berjalan lancar. Nah test kedua, test kemampuan dasar umum mulai gelisah. Tak disangka soalnya begitu sulit –bagiku. Strategi terakhir pun dilaksanakan, dengan “asal mengisi” dan cari jawaban yang “kira-kira benar”. Hari terakhir –test akhir- lebih parah lagi. Dengan materi Sosial Humaniora, aku kelabakan. Strategi diatas pun menjadi pilihan satu-satunya. Yah, begitulah nasibku di SBMPTN menggunakan strategi “kira-kira” (bukan kira-kira ninja ya..). oke, aku keluar ruangan dengan nafas lega. Terserah Allah bagaimana hasilnya, yang penting aku sudah melaksanakan dan akupun punya plan C.

Hari-hari setelah test SBMPTN, sudah sangat kecil harapan yang tersisa dalam benakku bahkan orangtuaku. Begitupun orang-orang, banyak yang mengira aku sudah gagal dan akan masuk IAID saja. Baiklah, tak apa. Karena siapa tau aku kuliah disana. Ketika ditanya perihal kuliah aku selalu menjawab “Sedang berusaha ke UPI, tapi entah nanti jadinya kemana”. Ketika aku ke pondok, orang-orang pondok, adik-adik kelas banyak yang mengatakan “Dedeh di IAID ya ?” (mungkin karena akupun terlampau sering ke pondok). Aku selalu menjawab “gak tau, sekarang lagi nungguin hasil SBMPTN ke UPI, kalau gak keterima, Insya Allah di IAID”. Oke, fine. Aku tidak bermasalah karena aku sudah tidak begitu berharap.

Pada tanggal sekian Juli (aku lupa tepatnya), ada kabar bahawa pengumuman SBMPTN akan dibuka pada tanggal 11 Juli. Aku begitu harap-harap cemas. Namun karena sudah pernah mengalami kegagalan, akhirnya menjadi biasa saja. Orangtua dan kerabat lebih gugup. Namun dengan tegas aku mengatakan “Mah, Pa, jangan terlalu berharap, karena ini berat”. Mereka mengiyakan. Pada saat itu, aku dan orangtua malah membicarakan perihal pendaftaran ke IAID, “mau diambilin formulir sama siapa ?” “mau ngambil jurusan apa ?”

Tanggal 11 Juli pengumuman akan dibuka pukul 17.00. Aku pergi ke tempat Bapak ngajar karena dirumah tidak ada akses internet. Sambil menunggu jam tersebut, aku chatting dengan rekanku yang sama-sama menunggu. Berbagai ungkapan dilontarkan, harapan, kecemasan dan langkah yang akan diambil selanjutnya jika gagal. Diantara mereka aku merasa paling rentan gagal karena dalam mengisi aku ceroboh, pun hanya sedikit sekali persiapan.

Teng teng teng... pukul 17.00. kedua rekanku sudah membuka hasilnya, dan sayang sekali gagal. Akupun merasa sudah begitu pesimis apalagi aku lupa nomor peserta hingga harus menelpon Mamah terlebih dahulu. Sekitar 5 menit kemudian Mamah menyebutkan nomornya. Dannnnnn....


Pada awalnya aku belum sadar “Loh kenapa ada jurusannya ?” Bapak melihat dari belakangku, “Pak, keterima ih” kemudian beliau dengan menitikkan airmata bergumam “Alhamdulillah, keterima”. Tak bisa dibayangkan bagaimana bergetarnya badanku saat itu, dengan keringat dingin dan muka kaku tak percaya. “Allah, inikah janji-Mu (mengenai ridho orangtua)?”. 

Langsung saja aku mengabarkan langsung kepada Mamah, Kakek dan Nenek. Mereka menangis terharu, akupun ingin menangis namun tertahan oleh rasa senang dan belum sadar. Bapak mengabarkan kepada semua kerabat pun aku mengabarkan kepada sahabat-sahabatku akan hadiah dari Allah yang begitu mengejutkan ini.

Kini, enam bulan berlalu. Aku sudah melaksanakan UAS pertamaku, artinya akan segera memasuki semester kedua. Aku tak menyangka, Aku bahagia, aku berterimakasih pada-Nya. Sampai saat ini, aku tidak tahu kenapa aku diterima dan entah do’a siapa yang dikabulkan oleh Allah. Mungkin doa dari kerabat, teman-teman, guru ? Entahlah, namun aku sangat yakin akan kekuatan ridho orangtua.

Nah, adik-adik.. semoga kisahku bisa dijadikan pelajaran. Terus semangat berikhtiar ya, jangan lupa sertakan Allah dalam setiap hal, dan patuhlah kepada orangtua, karena ridho mereka adalah segalanya. ^^

2 komentar:

  1. Ass, ukhti mau tanya, wktu sbm/tes tertulis ukhti milih jurusan apa pilihan 1,2,3 nya?

    BalasHapus
  2. wa'alaikumussalam.. pilihan 1, Pendidikan Luar Biasa UPI, pilihan ke 2, Bimbingan dan Konseling UPI, pilihan ke 3, Pendidikan Bahasa Inggris UPI :)

    BalasHapus