Selama ini aku kira hidup sebatang kara, peristiwa kekerasan,
ditelantarkan oleh keluarga hanyalah karangan fiksi yang terdapat di sinetron
belaka. Malam ini suatu pertemuan membawaku kedalam cerita di “dunia yang
sesungguhnya”.
Kisah ini bermula ketika aku mengikuti kajian di mesjid
Daarut Tauhid Bandung. Seorang anak usia 4,5 tahun mulai menarik perhatianku. Ya,
dibalik itu aku memang selalu tertarik kepada anak kecil, tapi untuk menarik
perhatian mereka tak selalu mulus. Menyedihkan memang, mungkin aku kurang lucu
? Ooh kelucuan seperti apalagi yang kau harapkan adik ? Eits, hush hush.. Aku
bukan mau menceritakan itu. Tapi, dia nampak tertarik kepadaku \(^_^)/ . Ia
duduk disampingku kemudian aku ajak ia berbicara. Hey, dia begitu akrab dan
komunikatif. Dia juga tidak terkesan sebagai anak bandel, nakal atau susah
diatur. Dia bahkan mengikutiku shalat padahal sebelumnya ia katakan malas
shalat karena orang-orang shalatnya lama. Haduhh, ini anak...ckckck
Usai shalat aku kembali mengajaknya berbincang dan bergurau,
duhai sungguh hangat sekali. Karena waktu semakin malam, aku mulai merapikan
mukena ku dan berpamitan untuk pulang. Namun melihat raut wajahnya yang mendung, aku mengurungkan niat tersebut. Kemudian
aku mengajaknya berbincang dan bercerita beberapa hal yang –semoga- anak-anak
sukai. Hingga setengah jam kemudian, aku masih asik berbincang sampai akhirnya
aku benar-benar berpamitan dan ia mengatakan “Ofa antel sampe bawah ya
teh”. Akupun mengangguk.
Ketika hendak menuruni tangga, ia dipanggil oleh sang ibu.
Dengan bermaksud sedikit basa basi karena merasa telah mengambil perhatian
anaknya selama beberapa menit –aseeek- , setelah saling bertanya asal daerah, ternyata ia mengetahui almamaterku, Ponpes Darussalam, akupun terjebak dalam perbincangan
panjang yang membuatku terus beristighfar dan berucap syukur dalam hati.
Ibu ini hidup sebatang kara. Orangtuanya sudah meninggal,
saudara kandungnya tidak mau mengakui keberadaannya, suaminya apalagi. Dahulu
ia menikah siri dengan seorang lelaki jawa. Setelah menikah beberapa bulan, ia
memutuskan untuk bekerja sebagai TKW diluar sana. Ketika pulang ke Indonesia,
ia mendapati suaminya telah beristri dengan status pernikahan yang sah secara
agama maupun administratif (bukan siri). Kala itu suaminya pun menetapkan
pilihan untuk tinggal bersama istri mudanya, tepat ketika ia mendapati dirinya
hamil 2 bulan. Alhasil, ia mengandung, melahirkan dan membesarkan anak tanpa
suami disampingnya. Hingga saat itu, ia masih bersabar sampai suatu hari ia
memutuskan untuk bekerja keluar negeri lagi, dan berniat menitipkan anaknya
kepada sang suami. Namun apa daya, ketika ia mengunjungi rumahnya, ia sama
sekali tidak diizinkan masuk bahkan oleh mertuanya sekalipun. Duhai, nenek mana
yang tak ingin menimang cucunya ? kenapa mereka tega sekali.
Hingga bertahun-tahun kemudian, sang ibu memilih bekerja di sebuah
pabrik di ibukota dan menitipkan anaknya kepada tetangga. Namun naluri seorang
ibu, ia merasa tidak nyaman ketika anaknya bersama oranglain, -ada ketakutan
yang luar biasa memancar dari wajahnya. Nah alasan itulah yang menyebabkan
hingga saat ini ia terus kesana kemari dengan tujuan mencari pesantren (salah satu yang sempat ia kunjungi adalah Darussalam) yang
bisa menampung anaknya dengan biaya gratis dan ia bisa tetap melanjutkan
pekerjaannya..
Dari sinilah aku terus bersyukur. Ia masih memberiku nafas,
lengkap dengan orang-orang yang menyayangiku, pun dengan rizki yang senantiasa
mengalir. Subhanallah. Tidak semua orang merasakan hal tersebut bahkan hal
sesederhana kata “sayang”. Aku yakin Allah merencanakan pertemuan ini agar aku mampu belajar bersyukur.
Ini nyata teman-teman...bukan kisah sinetron ><
Tidak ada komentar:
Posting Komentar