Rabu, 15 Januari 2014

Hikmah Perjumpaan dengan Ofaa

Selama ini aku kira hidup sebatang kara, peristiwa kekerasan, ditelantarkan oleh keluarga hanyalah karangan fiksi yang terdapat di sinetron belaka. Malam ini suatu pertemuan membawaku kedalam cerita di “dunia yang sesungguhnya”.

Kisah ini bermula ketika aku mengikuti kajian di mesjid Daarut Tauhid Bandung. Seorang anak usia 4,5 tahun mulai menarik perhatianku. Ya, dibalik itu aku memang selalu tertarik kepada anak kecil, tapi untuk menarik perhatian mereka tak selalu mulus. Menyedihkan memang, mungkin aku kurang lucu ? Ooh kelucuan seperti apalagi yang kau harapkan adik ? Eits, hush hush.. Aku bukan mau menceritakan itu. Tapi, dia nampak tertarik kepadaku \(^_^)/ . Ia duduk disampingku kemudian aku ajak ia berbicara. Hey, dia begitu akrab dan komunikatif. Dia juga tidak terkesan sebagai anak bandel, nakal atau susah diatur. Dia bahkan mengikutiku shalat padahal sebelumnya ia katakan malas shalat karena orang-orang shalatnya lama. Haduhh, ini anak...ckckck

Usai shalat aku kembali mengajaknya berbincang dan bergurau, duhai sungguh hangat sekali. Karena waktu semakin malam, aku mulai merapikan mukena ku dan berpamitan untuk pulang. Namun melihat raut wajahnya yang  mendung, aku mengurungkan niat tersebut. Kemudian aku mengajaknya berbincang dan bercerita beberapa hal yang –semoga- anak-anak sukai. Hingga setengah jam kemudian, aku masih asik berbincang sampai akhirnya aku benar-benar berpamitan dan ia mengatakan “Ofa antel sampe bawah ya teh”. Akupun mengangguk.

Ketika hendak menuruni tangga, ia dipanggil oleh sang ibu. Dengan bermaksud sedikit basa basi karena merasa telah mengambil perhatian anaknya selama beberapa menit –aseeek- , setelah saling bertanya asal daerah, ternyata ia mengetahui almamaterku, Ponpes Darussalam, akupun terjebak dalam perbincangan panjang yang membuatku terus beristighfar dan berucap syukur dalam hati.

Ibu ini hidup sebatang kara. Orangtuanya sudah meninggal, saudara kandungnya tidak mau mengakui keberadaannya, suaminya apalagi. Dahulu ia menikah siri dengan seorang lelaki jawa. Setelah menikah beberapa bulan, ia memutuskan untuk bekerja sebagai TKW diluar sana. Ketika pulang ke Indonesia, ia mendapati suaminya telah beristri dengan status pernikahan yang sah secara agama maupun administratif (bukan siri). Kala itu suaminya pun menetapkan pilihan untuk tinggal bersama istri mudanya, tepat ketika ia mendapati dirinya hamil 2 bulan. Alhasil, ia mengandung, melahirkan dan membesarkan anak tanpa suami disampingnya. Hingga saat itu, ia masih bersabar sampai suatu hari ia memutuskan untuk bekerja keluar negeri lagi, dan berniat menitipkan anaknya kepada sang suami. Namun apa daya, ketika ia mengunjungi rumahnya, ia sama sekali tidak diizinkan masuk bahkan oleh mertuanya sekalipun. Duhai, nenek mana yang tak ingin menimang cucunya ? kenapa mereka tega sekali.

Hingga bertahun-tahun kemudian, sang ibu memilih bekerja di sebuah pabrik di ibukota dan menitipkan anaknya kepada tetangga. Namun naluri seorang ibu, ia merasa tidak nyaman ketika anaknya bersama oranglain, -ada ketakutan yang luar biasa memancar dari wajahnya. Nah alasan itulah yang menyebabkan hingga saat ini ia terus kesana kemari dengan tujuan mencari pesantren (salah satu yang sempat ia kunjungi adalah Darussalam) yang bisa menampung anaknya dengan biaya gratis dan ia bisa tetap melanjutkan pekerjaannya..

Dari sinilah aku terus bersyukur. Ia masih memberiku nafas, lengkap dengan orang-orang yang menyayangiku, pun dengan rizki yang senantiasa mengalir. Subhanallah. Tidak semua orang merasakan hal tersebut bahkan hal sesederhana kata “sayang”. Aku yakin Allah merencanakan pertemuan ini agar aku mampu belajar bersyukur.

Ini nyata teman-teman...bukan kisah sinetron ><

Tidak ada komentar:

Posting Komentar