Hangat
sinar mentari menerobos setiap sudut taman kota pagi itu. Burung-burung asyik
bersiul menggoda pasangan muda yang tengah menyemai cinta. Embun pagi masih
tampak bergelayut manja pada beberapa daun, tak ingin segera mengakhiri moment
kebersamaan mereka.
Ditengah
keramaian orang-orang yang bersengaja pergi ke taman pagi itu, Himaya,
menikmati pagi dengan caranya sendiri. Menatap setiap sudut taman kota
bergantian. Mata bulatnya menatap lembut burung kenari yang bertengger di dekat
kolam air mancur. Ia tersenyum penuh ketakjuban, seolah ia merasakan betapa
bahagianya hati sang burung pagi itu. Tak lama, burung itupun terbang. Sorot
mata tajam Himaya membuatnya ketakutan. Aduhai, tidakkah ia tahu sesungguhnya
Himaya amat tertarik kepadanya? Ingin ia mengajaknya bernyanyi, memberitahukan
nyanyian terbaiknya kepada burung kenari.
Tatapan
mata Himaya berpindah kepada pasangan muda yang dengan malu-malu saling
bertukar cerita. Himaya menghela napas sembari mengguratkan senyum amat manis
diwajahnya. Ia merasakan betapa berbunganya hati mereka bak musim semi yang
melukiskan keindahan. Pasangan muda itu menatap curiga kepada Himaya.
Cepat-cepat ia alihkan tatapannya kepada objek lain. Dalam lubuk hati, ingin
sekali ia mengatakan bahwa cinta tidak hanya sekedar tempat bertukar cerita,
bahwa cinta tak seindah taman kota pagi ini. Hey, sejak kapan pula ia
mengetahui cinta? Entahlah, ia bisa merasakannya, sungguh. Mungkinkah ia
berbagi cinta dengan rumahnya, rumah yang setia menerimanya kapanpun tanpa ada
tatapan penuh kecurigaan?
Kini
tatapannya beralih pada anak-anak kecil yang berkejaran mengelilingi taman
kota. Mereka seolah lupa seminggu yang lalu mereka menangis ketakutan ketika anjing
peliharaan milik salah seorang warga mengejar mereka. Bulunya yang nampak
lembut memancing mereka untuk mengerjainya, namun anjing tersebut marah dan
nyaris mencelakakan mereka. Himaya tertawa pelan melihat tingkah lucu anak-anak
itu. Ah, apakah ia memiliki masa kecil seindah itu? Entahlah, sepertinya ia
ragu. Namun saat ini, Himaya seolah merasakan betapa bahagianya dunia anak kecil,
dimana mereka menghabiskan banyak waktu untuk bermain, tanpa ada kekhawatiran
akan suatu apa. Hmm.. Kali ini, ia bebas menatap objeknya. Anak-anak kecil itu
tidak menyadari ada sepasang mata tengah menyelami dunia mereka, ikut terhanyut
hingga membuat hati sang empunya lebih berwarna dengan tingkah mereka. Ingin
rasanya ia ikut berlarian, menjaga mereka dari kejamnya kehidupan, merangkul
mereka ketika terjatuh, ah sudahlah.
======
Begitulah
Himaya menikmati setiap jengkal kehidupan. Tidak ada yang aneh darinya, selain
ia gemar memperhatikan sekitar dengan mata bulatnya. Ya, tidak ada yang aneh
hingga peristiwa menakjubkan itu terjadi.
======
Himaya.
Siapa yang tidak kagum akan ia, gadis cantik berkulit putih dengan rambut hitam
panjang yang selalu tergerai rapi. Selain itu, perangainya yang lembut nan baik
hati membuat pemuda manapun akan terpesona. Di usianya yang menginjak 22, ia
tinggal sendiri dirumah sederhana yang entah sejak kapan menjadi miliknya. Bahkan
ia tidak ingat sejak kapan ia tinggal sendiri.
11
tahun silam, ketika usianya menginjak 11 tahun, Himaya berjalan menyusuri
komplek perumahan. Hal itu sudah biasa ia lakukan –entah sejak kapan-. Mata
bulatnya lincah menatap setiap potongan peristiwa sepanjang jalan yang ia
lewati. Menenggelamkan ia bersama peristiwa apapun yang berhasil ia tangkap.
Bu
Hadi, istri salah seorang pejabat di komplek tersebut merasa tertarik dengan
Himaya, gadis yang hampir setiap hari melewati rumahnya. Ia penasaran siapa
sebenarnya gadis tersebut. Selama ini ia tak lebih dari mengetahui namanya saja.
“Nak
Himayaa!!” serunya pada suatu pagi.
Himaya
yang tengah asyik berjalan langsung menoleh lantas membungkukkan badannya,
tanda hormat.
“Sini
Nak, mampir kerumah ibu. Bukankah capek sedari tadi menyusuri komplek?” ajaknya
lembut.
“Terimakasih
Bu. Takut merepotkan.” Ujarnya dengan seulas senyum yang....aduhai manis sekali.
“Tidak
apa-apa Nak Himaya, tidak akan merepotkan” tegas Bu Hadi sembari
menghampirinya.
Himaya
mengangguk pelan pun sama-sama menghampiri Bu Hadi. Tinggal beberapa langkah
lagi mereka hendak berjabatan tangan, seketika Bu Hadi terpental seperti
menabrak sesuatu. Tidak begitu menyakitkan memang. “Ah sepertinya saya
terpeleset” gumamnya.
“Bu
Hadi kenapa?” ucap Himaya terkejut, ia menjongkok dan menyodorkan tangannya,
hendak membantu.
Jarak
tangan Bu Hadi dengan Himaya tinggal beberapa senti lagi. Namun lagi-lagi Bu
Hadi merasa ada tolakan di tangannya. Berkali-kali mereka mencoba untuk
berjabat tangan dan berkali-kali pula Bu Hadi terpental hingga yang terakhir
kali nyaris melukainya. Ia mulai merasa ganjil dan buru-buru pergi tanpa pamit
kepada Himaya.
Himaya,
gadis kecil umur 11 tahun. Bingung akan kejadian yang sama sekali tidak ia
mengerti. Kristal bening mulai bercucuran membasahi pipinya yang memerah. Ia
tidak mengerti, sama sekali. Lantas berlari menuju rumahnya.
======
Kini,
11 tahun kemudian. Peristiwa tersebut melekat pada dirinya pun para warga yang
mendengar kisahnya dari Bu Hadi. Ya, peristiwa itu menyebar dengan cepatnya.
Kini, 11 tahun kemudian. Himaya tetap kebingungan, seperti bingungnya ia 11
tahun silam.