Kamis, 04 Desember 2014

Puncak Tahun Kedua


Ada yang ingin disampaikan,
belum tersampaikan
Ada yang ingin dikejar,
malah tertinggal
Ada yang tak begitu diindahkan,
menari dengan gemulai
Ada yang sangat diidolakan,
busuk dibelakang
Dilema.

Mengamini diri, awalnya aku
Membahagiakan diri, tanpa meragu
Hingga waktu menegurku,
“aku tak bisa begini dan begitu”

Keluhku menjadi-jadi
Tangisku berderai
Langkahku terseok, aku jatuh
Aku jatuh di puncak tahun kedua
Aku jatuh diterpa kelemahan
Aku jatuh di tengah lingkaran cinta
 Aku jatuh di kerinduan hangat rumah

Tak ada pilihan lain selain harus memilih,
Mundur satu langkah untuk maju beribu langkah
Atau memaksakan langkah untuk lantas kembali terjatuh

Dan aku memilih.

Gegerkalong Girang, 04 Desember 2014

Kamis, 06 November 2014

Inilah Hidup, Deh!

“Mamah, Bapa.. Bumi teh meni sararempit.” (Mamah, Bapa.. Rumahnya sempit banget.)
“Mamah, Bapa, tingali korsi na meni tos awon kieu.” (Mamah, Bapa, lihat kursinya udah jelek.)
Mamah, Bapa, hoyong liburan atuh, bete dibumi.” (Mamah, Bapa, pengen liburan, bete dirumah.)

Dan berbagai keluhan lainnya tentang rumah, kendaraan, liburan seringkali aku dan adikku lontarkan kepada orangtua selama beberapa tahun terakhir. Memang, keluhan itu seringkali hanya sekedar candaan pun orangtuaku demikian.

Hari ini, berbagai peristiwa telah menamparku, menampar kebiasaan mengeluhku.
=====
Hidup tak se’simple’ yang kubayangkan.

Sejak aku berusia 3 tahun, orangtuaku sudah memiliki rumah. Meskipun sederhana, tetapi layak dihuni. Keluargaku hidup rukun. Tidak pernah ada pertengkaran yang berarti. Orangtua begitu menyayangiku, pun seringkali memberikan apa yang kuinginkan. Keluarga besarku pun demikian, mereka sangat menyayangiku.

Simple. Hidup itu sederhana, aku hanya perlu sekolah sampai sarjana setelah itu mengajar seperti ayahku, mendapat gaji, menikah, mengurus rumah tangga, punya anak, mengasuh anak, simple kan?” Bayangku ketika masih kecil.

Selama hampir lima tahun merantau, pemahaman tersebut terus terkikis seiring semakin matangnya psikisku. Banyak kisah hidup yang membuatku bersyukur dan menyadari bahwa “hidup itu tidak mudah, butuh perjuangan.” tetapi sungguh, keluhku masih lebih banyak daripada syukurku.

Dan hari ini, aku mendapatkan pelajaran yang amat berharga tentang “hidup”.

=====
Bersama beberapa teman, aku mengunjungi rumah adik binaan. Letaknya masih di jantung Kota Bandung. Jauh dari apa yang kubayangkan, rumahnya amat sangat sederhana. Hanya ruangan kecil bahkan jauh lebih kecil dari kamar kost ku, dihimpit oleh bangunan-bangunan lain dan terasa sedikit lembab. Didalamnya terdapat tiga lemari baju berukuran kecil, satu lemari es, televisi di atas salahsatu lemari baju, dan perabotan rumahtangga lain yang disusun di atas lemari-lemari tersebut. Kompor dan peralatan masak lainnya disimpan diluar rumah, tepat didepan jendela yang otomatis sedikit mempersulit jalan masuk kerumah.

Adik binaan tersebut  terdaftar sebagai salahsatu adik beasiswa. Ia sangat cerdas. Aktif dalam kegiatan, ramah, selalu hormat kepada kakak-kakak pembinanya dan disekolahpun ia selalu masuk kedalam tiga besar. Tidak sedikitpun aku melihat pesimistis dalam sorot mata ibunya. Ia semangat mendukung kegiatan anaknya, memfasilitasi anaknya belajar –meski sederhana.

“Subhanallah, subhanallah, subhanallah” hatiku menangis, kesakitan. Bagaimana mungkin aku mengeluh dengan kondisi yang jauuuuuh lebih baik dan saaangat sangat harus disyukuri.

======
Kunjungan kedua dihari yang sama, pun di lokasi yang berdekatan dan kondisi yang nyaris sama. Adik tersebut adalah adik beasiswa juga. Sungguh pintar. Selain hobi bermain sepakbola, ia sangat tekun mempelajari al-Qur’an dan menghafalnya. Ia tinggal di kostan bersama ibunya. Hanya berdua. Orangtua mereka berpisah ketika usianya menginjak 6 bulan dan sang ayah tidak pernah menemuinya lagi. Padahal ‘kelahiran sang anak’ sangat ditunggu-tunggu, bahkan mereka menunggu sampai 15 tahun untuk dikaruniai seorang anak. Tetapi setelah Allah menjawab do’a-do’a mereka, sang suami pergi bersama perempuan lain dan sang istripun berdiri paling depan dalam mendidik dan membesarkan anaknya, tegar sekali.

Subhanallah... Kurang apalagi kamu, Deh? Sudah dikaruniai keluarga yang sangat menyayangi, difasilitasi untuk setiap keinginan dan cita-citamu. Akankah kamu tetap mengeluh? Malu, sangat malu.

=====
Dulu, aku hanya melihat kondisi demikian dalam televisi. Hari ini, Allah memperlihatkannya langsung didepan mataku pun dalam kehidupanku (karena mereka bagian dari hidupku).

Hari ini, Allah memberi peringatan kepadaku, halus sekali namun cukup membuat hatiku sakit, sakit sekali. Betapa hidup itu tidak semudah yang kubayangkan. Betapa amat banyak nikmat Allah yang luput dari syukurku. Betapa dzalimnya aku, betapa oh... aku bukan siapa-siapa dan belum mampu melakukan apa-apa.


Alhamdulillah, alhamdulillah. Allah mempertemukanku dengan mereka, sungguh bahagia yang amat mendalam. Alhamdulillah. “Maka nikmat Tuhan-Mu yang mana kah yang kamu dustakan?”.

Buka Mata Hati, Luruskan

Tak ada yang abadi, memang
Termasuk pencarian kebenaran

Dulu kita membenarkan apa yang kita anggap benar
Menurut pengalaman belajar kita
Dan belum tentu itu benar –seutuhnya

Dulu kita belajar apa itu benar
Lalu sekarang menyalahkan yang benar
Dan membenarkan yang salah

Belajar tidak ada batasnya
Lihatlah lebih luas
Bukan hanya dari sudut pandang yang kita miliki
Benarkan yang benar
Salahkan yang salah

Kita tidak kalah karena salah
Selama masih ada kesempatan
Kita kalah kala membenarkan yang salah
Dan menyalahkan yang benar

Aku sakit hati melihat caramu menatap perjalanan kita, kala itu

Ayolah, masih ada kesempatan, kawan..

Gegerkalong Girang, 5 Nov’ 14
Ditulis dengan penuh cinta,
Dariku, untukmu, kawan

Mari buka mata hati..

Senin, 27 Oktober 2014

Belajar dari 'Mereka' (Part 1)

Seperti biasa, mentoring ahad selalu seru banget. Tak terkecuali hari ini. Tujuh dari sepuluh adik kelompokku hadir, lima laki-laki (Keandra, Nafil, Farrel, Dias, Musa) dan dua perempuan (Azka dan Nadzifah).

Manusia memang beragam karakter dan karakter tersebut sangat kuat pada anak-anak. Oke kita –orang dewasa boleh mengatakan anak-anak itu manja, cerewet, rewel, bandel (biasanya bagi anak yang aktif) dan berbagai judgement lainnya. Tetapi tidakkah kita belajar dari mereka? Tentulah kita mengetahui bahwa manusia terlahir dengan suci, maka demikianlah anak-anak, belum ada dosa yang mengotorinya.

Demikian pula dengan hari ini. Aku belajar banyak dari mereka. Bolehlah mereka mengatakan aku –dan kakak PAS lain adalah seorang “pembina adik”, tetapi sungguh mereka memberi banyak pelajaran berharga.

Anak-anak masih bersifat egosentris, begitupula dengan kedua adik cantikku, Azka dan Ceuceu (panggilan untuk Nadzifah). Ceuceu membawa cukup banyak bekal dan telah membuka bekalnya sejak awal datang. Azka yang bekalnya disimpan di ibunya –yang berada di FOTa nampak tergoda dengan makanan tersebut lantas dengan polosnya mengatakan “Ceuceu, Aca mau..” Kembali ke statement awal, anak-anak masih bersifat egosentris dan itu lumrah saja. Ya, Ceuceu menolaknya sembari membalikkan badan. Akhirnya aku masuk kedalam interaksi mereka dengan mengatakan kita harus berbagi. Ceuceu pun mau memberinya satu biskuit chococips mini. Melihat Ceuceu yang makan chococips dengan lahapnya, Azka pun meminta kembali. Awalnya Ceuceu hanya mengerutkan kening dan memajukan bibirnya tanda tak setuju, tetapi kemudian ia mengatakan kepadaku “Kakak, kan minta itu sekali aja jangan sering-sering!” Sudah kuduga ia tak mau membaginya. Lantas aku memberi pengertian kepada keduanya bahwa kita harus saling memberi tetapi kita tidak diperbolehkan untuk memaksa. Melihat situasi demikian aku pun langsung mengalihkan pembahasan dengan menggambar.

Aku kira, semua berjalan baik-baik saja, hingga aku selesai membagikan cat untuk setiap kelompok... Hey? Azka cemberut sembari merapikan barang-barangnya. Aku mengajaknya berbicara tetapi hanya gelengan dan anggukan kepala jawabannya. Hmm dan Ceuceu tidak ada di tikar. Aku simpulkan mereka berantem. Dan benar saja, ketika Ceuceu kembali ke tikar, mereka saling cemberut satu sama lain dan tak mau bersentuhan sedikitpun.

Tak lama kemudian, saatnya membuat propaganda untuk mentoring sosial ke CFD Dago dan kuajak mereka untuk membuat propaganda tersebut. Dan bimsalabim abrakadabra... dengan sendirinya mereka kembali bekerja sama, tersenyum tulus, seakan lupa dengan perteng. Aduhaii..

Bagaimana dengan kita? Mungkinkah ketika merasa kesal bisa kembali normal dan saling memaafkan dalam waktu singkat? Indahnya saling memaafkan, tenangnya melupakan pertengkaran dan tetap menjalin hubungan baik. Lihatlah! Mereka bisa!


Ya, kita bisa belajar dari mereka –anak kecil. Maka, janganlah kita bunuh karakter mereka dengan judgement negatif. Pelihara dengan baik fitrah ilahiah mereka hingga ia tumbuh subur. Sungguh, mereka adalah bintang, begitu nasihat Pak Munif Chatib dalam Orangtuanya Manusia. Sekecil apapun cahayanya tetap bisa menerangi –setidaknya ruang kecil dalam hidup kita.

Kamis, 23 Oktober 2014

Anugerah Tuhan ~

Lama sekali ingin menjumpaimu, barulah tadi sore kesampaian.



Setelah empat bulan tidak bertemu, banyak sekali yang berubah darimu, Key. Bahasamu tak lagi babling, kamu bercerita banyak. Banyak kata yang keluar, sudah semakin jelas suara dan intonasinya meski huruf konsonan masih mengambang pun memang perlu pemikiran dan konsentrasi lebih untuk mengerti bahasamu.

Ketika aku memasuki rumahmu, kamu berlari ke arahku, loncat kegirangan. Aku tau, sedikitnya kamu mengingatku meski perjumpaan kita hanya sesaat dan mungkin tak berarti banyak untukmu, tetapi kamu tetap seramah dulu -ketika aku mengenalmu. Taukah kamu saat itu aku luar biasa bahagianya melihatmu yang semakin cantik, aktif dan banyak kemajuan. tentu kamu tau, kamu merasakannya, aku yakin itu.

Aku tau, kamu ingin bercerita lebih banyak. Tentang gigi yang kamu cabut sendiri: lama dan lancar sekali kamu menceritakannya -tentu menggunakan bahasamu-. tentang kamu yang tidak menangis kala kesakitan, tentang rambut yang kamu potong sendiri....ah tapi mungkin kamu kurang puas karena aku masih kesulitan memahami bahasamu. Terbayang jelas tatapanmu ketika selesai berbicara, tatapan keheranan, tatapan ketidakpuasan. Keysa, aku berusaha memahamimu. Terimakasih atas ketidakmarahanmu dengan sikapku.

Keysa, aku akan menjadi pendengar setiamu tak peduli mengerti atau tidak, aku tetap bisa merasakan getar hatimu. Aku takkan melarangmu menggunakan bahasamu sendiri, gunakan saja.

Semoga aku bisa berkunjung lagi; harus! Insya Allah.

Selasa, 14 Oktober 2014

Selalu Ada Hikmahnya


Selalu ada hikmahnya, seperti beberapa hari terakhir di jalan depan kosan yang sedang diperbaiki. jalan ditutup, kendaraan bermotor tidak bisa lewat. alhasil telinga ini terbebas dari suara bising kendaraan.

Upsss bukan itu saja hikmahnya, ada yang lebih spesial. Dari sore hingga malam hari -jika cuaca sedang berpihak, anak-anak asik bermain sepeda, ada yang sudah mahir hingga bisa berkejaran, pun ada yang baru belajar dibantu oleh orangtuanya. Adapula yang tidak memiliki sepeda, bergantian temannya meminjamkan, atau jika tak ada yang meminjamkan pun mereka tak hilang keceriaan. Mereka berlarian mengejar temannya yang bersepeda, tertawa bahagia. Ibu-ibu yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya, bapak-bapak yang baru selesai bekerja, berkumpul di jalanan tersebut, sekedar 'nongkrong', bertegur sapa membicarakan hal-hal ringan sembari mengawasi anak mereka. Aduhai..

Entahlah aku yang selama ini kurang memperhatikan lingkungan atau memang sungguhan, aku jarang sekali melihat pemandangan seperti ini. Apa yang kulihat lebih banyak kesibukan dirumah masing-masing ketimbang interaksi dengan tetangga.

Terkadang pikiran konyol mendera, "andai jalanan selalu se-sepi ini, andai jalanan ini selalu ditutup, lantas anak-anak mendapat tempat bermain baru, orang-orang berjalan kaki saling bertegur sapa." Hmm tapi itu konyol. Ini Kota Bandung, orang-orang berdesakkan tinggal di ibukota Jawa Barat ini. Ini bukan Rancah, kampungku yang masih sepi, sejuk, jauh dari hiruk pikuk kota. Anak-anak bermain di 'halaman rumah tanpa pagar', sawah, lapangan bahkan kebun dan hutan. Ibu-ibu mengobrol santai di sore hari bersama tetangga, saling berkirim makanan, saling membantu. Bapak-bapak sibuk bekerja tanpa melupakan kesejahteraan kampungnya; memperbaiki jalan, membantu pembangunan rumah, mesjid, dsb.

Sudahlah. Perkataanku memang absurd. Syukur jika ada yang paham, jika tidak pun semoga tidak menjadi salah paham fatal.

Rabu, 24 September 2014

Kamu, Dia, Kalian ~

Entah dari mana awalnya, tetiba aku jatuh cinta pada lagu ini, atau lebih tepatnya the lyrics of the song. Seperti biasa, lagu yang kusukai pasti mewakili perasaanku, sekarang maupun di masa lalu. Seperti lagu ini,

Kita bermain-main, siang-siang hari senin
Tertawa satu sama lain
Semua bahagia, semua bahagia

Kita berangan-angan, merangkai masa depan
Dibawah kerindangan dahan
Semua bahagia, semua bahagia

Matahari seakan tersenyum


Walau makan susah
Walau hidup susah
Walau tuk senyumpun susah
Rasa syukur ini karena bersamamu juga susah dilupakan

Kita berlari-lari, bersama mengejar mimpi
Tak ada kata tuk berhenti
Semua bahagia, semua bahagia

Kamu, dia, kalian, yang membersamaiku di perantauan tiga tahun paling berkesan dalam hidupku, there's experiences and knowledges, so much and so valuable.. I think it's sweetest memory..


dan kamu, dia, kalian yang menemaniku di perantauan tahun keempat paling bermakna, kalian yang bagiku; perapian dikala ku menggigil kedinginan


Dua periode perantauan itu titik dimana transisi amatlah berpengaruh pada diri pribadi, mindset, dan jalan hidup yang kupilih.

Terimakasih Allah,
Terimakasih kalian,
Terimakasih.

Senin, 22 September 2014

Kau Mengalihkan Duniaku

Sore sekali aku menyusuri jalan Gegerkalong ke arah barat, menuju kamar kontrakanku. Keindahan pemandangan didepan sana membelakakkan mataku yang letih kuajak beraktivitas seharian ini plus terkena debu jalanan. Matahari yang hendak terbenam dibentengi awan besar sehingga semburat cahayanya memancar disetiap sisi awan menghasilkan kombinasi warna jingga dan keunguan, kombinasi yang amat menawan.
Seperti biasa, kuhabiskan weekend dengan beraktivitas disana, PAS-ITB. Hal itu sudah menjadi komitmen diri –disamping komitmen struktural di PAS-ITB-. Tentu saja, karena itu merupakan konsekuensi keberadaanku disana. Ketika aku melakukan aktivasi kepada pihak MPA, otomatis hal tersebut menandakan bahwa aku harus mengikuti kegiatan disana. Hari sabtu dan ahad merupakan salah satu kegiatan wajib; konsolidasi, mempersiapkan media untuk mentoring ahad, mentoring kakak, dan mentoring ahad serta diakhiri evaluasi. Tidak pantas rasanya jika aku mengaku kakak pembina aktif PAS-ITB, tapi absen dalam kegiatan wajib tersebut, terkecuali jika memang ada agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan sama sekali.
Sore itu juga, betapa terasa ringannya hati ini setelah beraktivitas disana. Bahagia, tertawa bersama anak-anak kecil nan lucu dengan segala kepolosannya, tanpa noda. Bahagia. Memetik banyak pelajaran berharga, ilmu agama, teaching, parenting, kreatifitas, organisasi dan masih banyak lagi. Tentu saja, karena belajar tak mesti di bangku formal, tak mesti di usia sekolah. Belajar dimanapun, dari siapapun dan kapanpun. Belajar dari kehidupan. Entahlah, jika membahas rasa ini, sulit dideskripsikan. Deskripsi yang sudah saya tulis pun rasanya belum mewakili.
Tiba di kamar kontrakan, barulah lelah ini terasa. Selepas membersihkan diri dan sholat maghrib, langsung kurebahkan diri sembari membayang apa yang harus kulakukan malam ini. Selepas sholat isya, tak mampu lagi menahan kantuk, aku tertidur. Masa bodo dengan tugas yang belum kukerjakan. “Masih ada dini hari”, pikirku.
Berkat kasih sayang Allah, aku masih bisa menjalani hari; bangun pagi, menghadapi tugas, sholat, merapikan kamar, menyiapkan sarapan, berangkat kuliah. Alhamdulillah. Kuliah senin ini dimulai pukul 07.00 dan semangatku –yang sempat hilang- kini membara. Badanku terasa ringan sekali menjalani aktivitas perkuliahan.
Selain untuk sholat dzuhur, waktu istirahat kumanfaatkan untuk makan siang bersama salah seorang teman, Kak Safa, kakak pembina PAS-ITB satu semester denganku, pun satu jurusan dan satu kelas. Setelah memesan makan, akupun duduk santai sambil memperhatikan sekitar. Hmm telingaku seperti menangkap suara serta gaya bicara yang kukenal lantas kulirik orang yang duduk di bangku sebelahku. Hey! Itu Kak Anna! Kakak pembina PAS-ITB semester 56. Perbincangan seru pun tak terelakkan dan nampaknya cukup menggemparkan kantin. Perbincangan tak berlangsung lama karena masih ada agenda lain.
Baru saja kami memasuki gedung fakultas, Kak Sisit, kakak pembina PAS-ITB semester 58 menyapa kami. Tentu lebih sering berjumpa dengan beliau dikarenakan jurusan yang sama. Kami pun tak berbincang lama, karena aku harus bersegera menuju mushola.
Ditengah perjalanan menuju mushola, kulihat wajah yang amat kukenali, Kak Putri dan Kak Asna, kakak pembina PAS-ITB dengan semester yang sama denganku, semester 61. Lagi-lagi perbincangan tak berlangsung lama. Baru saja melangkah sejauh satu meter, kami melihat wajah yang kami kenali, Kak Degha! Ketika menghampiri Kak Degha, ternyata ada Kak Adis dan Kak Zakiah juga! Memang, mereka bukanlah kakak pembina PAS-ITB, tetapi mereka merupakan wali adik pada acara besar PAS-ITB liburan akhir semester lalu. Dikarenakan intensitas bertemu dengan mereka tak sesering dengan kakak PAS-ITB, kami pun berbincang dengan antusiasnya, meskipun hanya sekitar 5 menit. Ketika asyik berbincang, seseorang memanggil mereka, hmm sepertinya kenal. Ah, tentu saja! Kak Yulia, kakak pembina PAS-ITB semester 59. Memang mereka dari jurusan yang sama. Namun tak lama, kami berpamitan untuk segera ke mushola, akhirnya berpisahlah.
Setibanya di mushola, kami segera menuju toilet untuk berwudhu. Kamipun mengantri dan aku masuk lebih dulu, bergantian. Ketika menunggu Kak Safa, aku melirik ke sebelah kanan, ke tempat bercermin. Perempuan berjilbab merah itu.......... Sepertinya aku kenal. Kuperhatikan, dan hey Kak Janu! Beliau merupakan kakak pembina PAS-ITB dengan semester yang sama pula, semester 61. Perbincangan pun berlangsung meskipun tak cukup lama –karena itu d toilet juga-, tetapi seperti yang lainnya, tetap antusias.
Perkuliahan berakhir pukul 14.40. Akupun bersegera pulang. Baru saja keluar gedung fakultas, berjumpa lagi dengan salah satu kakak pembina PAS-ITB, Kak Dila dari semester 61 yang sedang mencari dosennya, lantas kamipun bertegur sapa. Subhanallah...
Pembina PAS-ITB memang berasal dari berbagai kampus yang ada di Bandung, namun demikian yang berasal dari kampusku -UPI Bandung- amat banyak, maka tidak heran jika di kampus seringkali berjumpa dengan kakak PAS-ITB di sudut manapun.

Ah, kamu! Iya, kamu! Dikarenakan kamu, mengenalkan aku dengan banyak orang hebat, menjembatani persaudaraan kami. Kamu, kukira hanya di weekend membersamaiku, ah bahkan kamu ‘ada’ kala aku berada di kampus. Kamu mengalihkan duniaku. *eaaaa

Sabtu, 20 September 2014

-Kembali-

Hilang, dua pekan terakhir ia lenyap
tersapu sederetan aktivitas
bersembunyi diantara keriuhan naluri dan kebisuan nurani
Lembut sekali ia bergerak
Meninggalkanku perlahan

Kacau, aku meracau
Menghitung detik jam berdentingan, tanpanya
Terpekur, kaku

“Bantu aku mencarinya!”
Teriakku pada teman
hingga suaraku memekikkan telinganya
dan pergilah ia dengan kecewa
dengan lemahku tak menemukannya sendiri
Kepergiannya seakan sambaran kilat
Mendatangkan airmata yang menghujani pipiku

Berpikir, berpikir, rasakan

Tidak! Aku tak bisa!

Lupakan, lupakan, berjalanlah

Lantas dengan gontai aku berjalan
menyusuri jalan itu, yang jelas ada dihadapanku
Hanya berjalan, terus berjalan
Berpegangan pada-Nya,
Menyusuri jalanan licin,
Menyingkirkan kerikil tajam, hati-hati
Terus berjalan menuju alamat yang kugenggam sejak dulu

Dan, hey!
Dia datang dengan sendirinya, perlahan
Mendekat, mendekat, semakin jelas
Dia datang
didatangkan oleh-Nya

Lantas kupeluk erat dirinya
Takkan kulepas

Gegerkalong Girang, 19 September 2014
Layla,
yang menemukan ‘semangatkuliah'-nya kembali

Kamis, 18 September 2014

Bahagia itu...

Bandung. Kota sejuta angkot. Tak usah khawatir jika tersesat, karena di kota ini angkot ada dimana-mana. Setahun merantau di kota Bandung, aku sudah terbiasa dengan ribuan angkot puluhan jurusan, sudah terbiasa naik turun angkot mencari alamat. Sebenarnya mudah saja untuk menemukan alamat dan akan menyusurinya menggunakan angkot. Kita hanya perlu tiga hal:

1.      GPS
2.      Koneksi untuk melihat rute angkot Bandung.
3.      Keberanian.
Tentu saja, hal ketiga yang paling utama.

Sore itu, polusi kendaraan serta aroma sampah lengkap menemaniku menuju angkot di seberang jalan Ganesha, angkot jurusan Cicaheum-Ledeng arah menuju Ledeng. Sesak didalam angkot? Sudah biasa. Kulirik penumpang disebelahku, terpaku pada gadget masing-masing, sibuk dan serius sekali. Tidak jauh berbeda denganku yang terpaku pada buku yang kubaca, malas sekali rasanya berinteraksi dengan yang lain. Sampai akhirnya...

Hey! Ada sepasang suami istri paruh baya dengan pakaian sederhana dan barang bawaan yang sedemikian banyaknya. Menarik sekali karena dengan kondisi mereka yang demikian serta diantara wajah-wajah yang masam dan tak peduli, mereka berbicara dengan santai dan senyum mereka, aduhai tulus sekali, penuh cinta. Bahagia. Akupun menyimpan kembali buku-ku dan berusaha memperhatikan sekitar dengan sesekali melempar senyuman.

Memang, bahagia itu sederhana.
Seperti hariku disana. Bahagia menatap wajah anak-anak kecil yang lucu nan polos. Menatap mereka yang asik berlarian kesana kemari, tanpa beban. Membiarkan tangan ini digenggamnya, memberikan rasa aman, mengantarnya berlari kesana kemari. Membiarkan ia terduduk dipangkuanku, bermanja-manja lantas bercerita. Sungguh lucu. Senyuman, tangisan maupun ngambek-nya. Bahagia.

Memang, bahagia itu sederhana.
Hmm nyatanya “bahagia” tidak mesti ditafsirkan pada kondisi nyaman yang didasarkan pada kenyamanan finansial. Bahagia itu dekat, bahagia itu bisa kita manage. Bahagia itu kelapangan hati tatkala berusaha menyingkirkan berbagai penyakit hati; iri, benci, ambisi akan duniawi yang pada akhirnya hanya melahirkan kegelisahan.

Allah. Ketika ada Dia, sungguh bahagia semakin nyata. Allah, tak bisa dispelekan. Allah, ampuni aku ketika kala itu, diri ini tak mendekatimu.

Bahagia itu sederhana. Sesederhana berbagi senyuman tulus kepada orang lain, kepada binatang bahkan kepada masalah yang kita hadapi. Sesederhana menumpangi angkot. Menatap berbagai warna kehidupan, mendengar berbagai irama kehidupan, lantas bersyukur kepada-Nya. Bahagia.

Senin, 15 September 2014

Dia Mengerti

Tanpa ampun, matahari menyengat bumi, semaunya. Jika saja atmosfer tidak cukup kuat untuk melindungi  bumi dari panasnya matahari, umm sepertinya sudah terbakar dan musnahlah.

Hmm bumi mengerti, matahari tidak bermaksud membakarnya, karena jika matahari tak ada, pohon-pohon dan bunga-bunga tak akan hidup sedangkan darisanalah oksigen terlahir. Jelas, bumi sangat mengerti maka ia tak berkutik, hanya terus menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Bukan, bukan ia tak mempedulikan panas yang menyengat, bukan. Bukan ia tak merasakan , hanya ia mengetahui bahwa meracau takkan menghilangkan panas yang ia rasa.

Hidup bumi tidak mudah. Sudah ia disengat matahari dan berjuang dengan dilindungi atmosfer, eh manusia tak tahu diri membuat berbagai teknologi pembaharu yang pada akhirnya membahayakan bumi. Ah, betapa rumit hidupnya, namun inilah bumi. Ia tetap menjalani kehidupan sebagaimana skenario Tuhan. Ia tetap berputar mengelilingi matahari sebagaimana perintah Tuhan, demi keseimbangan alam. Jika pada akhirnya ia bereaksi dengan menggoncangkan dirinya atau menggetarkan lautan hingga tumpah cairannya, itu bukan kebencian, hanya ia memiliki batas kekuatan.


Ia mengerti, itu saja.

Jumat, 08 Agustus 2014

Tigasembilan-nya Mamah

Setiap ibu tentulah selalu istimewa dimata anaknya. Begitupun aku pada Mamah. Diusia 18 tahun lebih sekian bulan rahimnya telah terisi janin dan diusia 19 tahun lebih sekian bulan pula dia telah melahirkan seorang bayi perempuan, ya tentu saja itu aku. Hey, diusia yang sama denganku saat ini dia telah merasakan bagaimana suka dukanya mengurusi rumah tangga, beratnya hamil, sakitnya melahirkan dan senangnya menimang-nimang bayi. Diusia itu bahkan aku masih berkeliaran di perantauan, bepergian kesana kemari bersama teman-teman, asyik menikmati masa muda. Ya, mungkin karena kita berada pada zaman yang berbeda, Mah.
Dikarenakan usia kami yang tidak terpaut terlalu jauh, banyak yang mengatakan kami nampak seperti adik kakak. Maka ketika berkomunikasi seringkali aku merasa seperti kepada teman saja, curhat persoalan sekolah, curhat masalah hati (eaaa), saling mengomentari penampilan, dan lain sebagainya. Meskipun tentu saja Mamah sering mengomeliku dan menasihatiku layaknya ibu Tom dan Jerry di film I’m Not Stupid (tidak separah itu juga sih).
Tepat di hari ini, perempuan yang paling istimewa dalam hidupku ini berusia 39 tahun. Ibuku yang kerap kupanggil Mamah. Sudah semakin tua meski kata orang masih terbilang muda tetapi nampaknya sudah pantas menimang cucu (kode :D).
Meski aku sering kesal karena sikapnya yang kadang terlalu protektif terhadap anaknya –terutama kepada adikku- dan sering sekali mengomel, namanya juga ibu ya aku tetap sayang. Sayang bingits. Dibalik kebisuanku untuk memujinya, aku menyimpan kekaguman yang amat mendalam terutama sosoknya yang lincah sekali dalam mengurusi rumah tangga dan juga pekerjaannya. Khawatir sekali ada sikap dan perkataanku yang tidak berkenan dihatinya, maka aku memohon maaf sedalam-dalamnya (waktu lebaran :3).

Semoga Mamah tetap menjadi perempuan tangguh, istri sholehah dan ibu yang –semakin- “baik hati”. Tentu saja Mamah tidak akan membaca tulisan di blogku ini, haha.

Kamis, 07 Agustus 2014

Setahun Sudah ~

Setahun sudah...

02 Juni 2013, setahun lebih dua bulan sekian hari yang lalu, hari peresmian ku sebagai alumni Pondok Pesantren Darussalam. Yeah aku lulus jenjang SLTA. Umurku masih 18 kala itu. Usia dewasa ya? Hmm entah ada atau tidak kedewasaan itu pada diriku.

Setelah itu adalah masa ‘kegalauan’ untuk menentukan dimanakah perantauanku selanjutnya? Singkat cerita, aku berhasil memasuki perguruan tinggi yang aku inginkan plus jurusan yang aku inginkan pula. Maka, ramadhan tahun lalu tersibukkanlah aku dengan persiapan untuk perantauan kedua ini. Registrasi-lah, cari kostan-lah, persiapan ospek universitas serta mempersiapkan barang-barang yang akan mengisi kostan ku nanti. Tak terbayang perasaanku saat itu, ketika hati masih terpaut pada pondok dan kini harus merantau seorang diri? Hmm..

20 Agustus 2013..

Tadaaa... Hai Bandung, aku penduduk baru mu.
Dengan diantar kedua orangtua, adik dan kakekku tibalah aku di kota ini. Kata orang sih, kota kembang, maksudnya apa ya? Apakah banyak kembang (bunga)? Entahlah aku tidak peduli, yang aku pikirkan saat itu hanyalah membereskan barang-barang di kamar baruku. Hey, kamar baru? Aku sungguhan akan merantau seorang diri di kota ini? Tidak lama lagi orangtuaku pulang ke kota asalku, sanak famili yang ada di Bandung (yang kala itu menemui ku di kostan baru) pun satu persatu kembali ke kediamannya masing-masing.

Kurang lebih tiga jam kemudian, kedua orangtua, adik dan kakekku pun berpamitan. Meskipun tiga tahun aku merantau tetapi kali ini dada serasa sesak menahan tangis persis seperti tiga tahun yang lalu di perantauanku yang pertama kalinya. Hmm mungkin wajar, karena tempat perantauanku kali ini teramat jauh dari kampung halaman, lagipula dua bulan terakhir ini kuhabiskan dirumah -yang selama tiga tahun terakhir tidak pernah tinggal dirumah selama lebih dari dua minggu.

Selanjutnya, dingin lah yang kurasa memenuhi hari-hariku di kota ini. Ya, kota ini memang dikenal dengan suhu udaranya yang dingin terlebih daerahku yang berada di kaki gunung (sepertinya). Berhari-hari, berbulan-bulan kemudian dingin itu sudah tidak begitu menyiksaku. Mungkinkah aku sudah kebal dengan dinginnya Bandung?

Selain suhu udara, dingin lain yang kurasakan dikarenakan kekosongan hati tanpa ada yang mengisi, menghangatkan, menyelimuti seperti biasanya. Bagian hati ini bagian hati untuk sesamaku, bukan bagian hati untuk Tuhanku. Setiap hari kuhabiskan dengan berkeliling di dunia maya, merapikan kamar dan melengkapi isinya, ospek, kuliah, baca novel, jalan dan bagian yang paling kutunggu adalah menelpon teman-teman pondokku, teman satu jurusan, teman satu kelas, Program Keagamaan. Benar, aku belum move on. Hatiku masih terpaut erat dengan mereka yang selama tiga tahun terakhir merupakan orang terdekatku, mungkin aku katakan mereka keluarga kedua ku. Selama tiga tahun terakhir, mereka-lah yang setiap hari membersamaiku sejak bangun tidur hingga tidur lagi di semua aktifitas dan di semua keadaan. Senang, sedih, marah, berantem, bercanda, setelah kepada Tuhan, kepada mereka lah semua rasa ditumpahkan, begitupun sebaliknya.

Suatu hari, aku mendapatkan pencerahan (cielah~) dari salah seorang kakak kelas, katanya kurang lebih seperti ini “Bandung memang dingin. Kita tinggal memilih apakah kita akan menyalakan perapian yang menghangatkan atau malah membiarkan jendela terbuka?” (Maaf jika redaksinya salah ya, Kang Ambang haha). Dalam hati, aku mengamini kalimat itu. Selama ini aku sendiri yang membiarkan jendela terbuka hingga udara dingin merasuki hatiku. Kenapa tidak mencari perapian saja?

Akhirnya kutemukan perapian itu. Tepatnya di jalan Ganesha aku menemukannya. Ya, PAS-ITB yang menjadi perapianku hingga saat ini. Kehangatan persaudaraan, kebersamaan -bersama dijalan-Nya, keceriaan dan kehangatan lain serta tentulah kehadiran adik-adik yang lucu dan menggemaskan. Alhamdulillah, alhamdulillah mereka –kakak-kakak PAS-ITB- menjadi perapianku dikala aku menggigil dengan dinginnya Bandung.

Memang benar, ketika saat ini dinginnya udara Bandung tak begitu menyiksaku maka belum tentu suhu udaranya yang semakin panas. Boleh jadi, tubuhku sendiri yang sudah kebal dengan dinginnya atau sudah mengetahui bagaimana cara mengatasi dinginnya tersebut.

======

Setahun sudah...

Bagaimana kabar studiku?
02 September 2013, hari pertama masuk kuliah. Rasanya? Biasa saja. Hanya ada aku yang lebih serius dari biasanya. Bagaimana tidak? Terkejut dengan mata kuliah yang akan kuhadapi terutama Anatomi, Fisiologi dan Genetika. Anatomi? Anatomi tubuh gitu? Menyebutkan bagian tubuh, bagian tulang gitu? Fisiologi? Apapula ini? Genetika? Ngomongin sel-sel saraf? Apasih aku tidak mengenal kalian (-_-) . Keringat dingin mengucur ketika mata kuliah ini berlangsung. Sang dosen yang seorang dokter itu –mungkin- menganggap semua mahasiswa mengenal dasar-dasarnya. Maka dengan lincahnya beliau langsung menjelaskan pembahasan yang lebih tinggi -menurutku- dengan gaya berbicara yang dua arah, tentu saja aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya, aku hanya sibuk berkutat pada buku –yang tidak kumengerti- dan sibuk mencontek catatan teman sebelah.

Alhamdulillah, semester satu kulalui dengan lumayan serius meskipun hasilnya tidak begitu memuaskan karena banyak teman-temanku yang meraih nilai jauh diatasku. Tak apa, kuakui kelemahanku dan nilai sekian sudah lebih dari memuaskan dibanding kemampuanku yang hanya setitik.

Semester dua, aku mulai mendekati perapianku. PAS-ITB. Hey, malah lebih nyaman berada disana, berjumpa adik-adik pula. Alhasil, kuliahku terasa datar saja. Berangkat kuliah, belajar, pulang. Jika ada tugas ya kerjakan (itupun sering mepet deadline). Setelah itu, aku mengikuti kegiatan-kegiatan di PAS –ya meskipun aku nampak seperti anak bawang :3- . Ketika banyak rekan yang absen kegiatan PAS karena mengerjakan tugas, maka itu tidak berlaku untukku. Mengerjakan tugas ya malam hari, jangan sampai mengganggu kegiatan PAS. Haha. Entah benar atau tidak mindset ku itu namun bersyukur semua tugas dapat kuselesaikan meskipun ngasal dan mepet deadline. Hasil akademik semester ini pun tidak begitu jelek.

Hmm...
Mungkin beginilah rasanya akan memasuki tingkat dua. (Memang bagaimana? Apa perbedaannya?) Jawabannya adalah tidak ada bedanya. Haha. Kuliah? Mengikuti alur saja. Doyannya? Bepergian kesana kemari, maen ke tempat-tempat yang belum pernah kusinggahi, ikut kegiatan ini dan itu –terutama kegiatan PAS tentunya-. Sampai-sampai informasi nilai semester dua, bayar UKT, mengontrak mata kuliah, dan lain sebagainya mengenai urusan akademik kampus, aku percayakan kepada teman-temanku, yang pada akhirnya KRS pun lupa aku download dan printout. Terlenakan sekali dengan sistem akademik yang serba online ini. (Terimakasih teman-teman PKh 2013 yang senantiasa saling membantu, terutama Dwi, Yeni, Nurul yang paling sering aku kepo-in).

Entah akan seperti apa studiku di tingkat ini. Apakah tidak ada kekhawatiran di benakku? Oh tentu sangatlah khawatir, melihat nama mata kuliah yang aneh-aneh saja membuatku merinding membayangkan nilai yang berada dipinggirnya nanti. Memperhatikan para mahasiswa tingkat akhir yang berkejaran dengan deadline TeA atau skripsweet mereka, aku terbengong. Bagaimana aku nanti? Bukankah harus disiapkan sedini mungkin dengan kuliah yang serius? Hmm...


Baiklah, setahun sudah perantauanku di Kota Bandung dan aku telah jatuh cinta padanya. Tentulah berharap sekali tahun selanjutnya lebih bermakna lagi, lebih serius lagi menghadapi studiku, bisa hidup lebih mandiri dan bermanfaat bagi orang banyak. Bahkan siapa tahu kutemukan jodohku disini? Eits, jodoh pekerjaan maksudnya. Eummhh boleh deh jodoh kehidupan juga. Haha.

Selasa, 17 Juni 2014

K-A-M-U

Cahayamu teramat terang
Aku silau
Tapi rasaku terpancar

Cahaya lain mendekat
Mengerubungimu
Membentuk cahaya yang lebih menyilaukanku

Rasaku teramat besar
Aku jatuh
Aku terperosok
Aku memaksa
Berharap, menatap.

Aku egois
Aku hanya menatap cahayamu yang tanpa cahaya mereka

Kamu masih tetap dengan cahayamu

Hey! Tapi kamu men”cahayai”ku
yang kegelapan
Ah? Siapa aku kau “cahayai”?

Lembut katamu mencintaiku

Memerahlah pipiku


Geger Kiara, 15 Juni 2014

Selasa, 20 Mei 2014

Himaya

Hangat sinar mentari menerobos setiap sudut taman kota pagi itu. Burung-burung asyik bersiul menggoda pasangan muda yang tengah menyemai cinta. Embun pagi masih tampak bergelayut manja pada beberapa daun, tak ingin segera mengakhiri moment kebersamaan mereka.
Ditengah keramaian orang-orang yang bersengaja pergi ke taman pagi itu, Himaya, menikmati pagi dengan caranya sendiri. Menatap setiap sudut taman kota bergantian. Mata bulatnya menatap lembut burung kenari yang bertengger di dekat kolam air mancur. Ia tersenyum penuh ketakjuban, seolah ia merasakan betapa bahagianya hati sang burung pagi itu. Tak lama, burung itupun terbang. Sorot mata tajam Himaya membuatnya ketakutan. Aduhai, tidakkah ia tahu sesungguhnya Himaya amat tertarik kepadanya? Ingin ia mengajaknya bernyanyi, memberitahukan nyanyian terbaiknya kepada burung kenari.
Tatapan mata Himaya berpindah kepada pasangan muda yang dengan malu-malu saling bertukar cerita. Himaya menghela napas sembari mengguratkan senyum amat manis diwajahnya. Ia merasakan betapa berbunganya hati mereka bak musim semi yang melukiskan keindahan. Pasangan muda itu menatap curiga kepada Himaya. Cepat-cepat ia alihkan tatapannya kepada objek lain. Dalam lubuk hati, ingin sekali ia mengatakan bahwa cinta tidak hanya sekedar tempat bertukar cerita, bahwa cinta tak seindah taman kota pagi ini. Hey, sejak kapan pula ia mengetahui cinta? Entahlah, ia bisa merasakannya, sungguh. Mungkinkah ia berbagi cinta dengan rumahnya, rumah yang setia menerimanya kapanpun tanpa ada tatapan penuh kecurigaan?
Kini tatapannya beralih pada anak-anak kecil yang berkejaran mengelilingi taman kota. Mereka seolah lupa seminggu yang lalu mereka menangis ketakutan ketika anjing peliharaan milik salah seorang warga mengejar mereka. Bulunya yang nampak lembut memancing mereka untuk mengerjainya, namun anjing tersebut marah dan nyaris mencelakakan mereka. Himaya tertawa pelan melihat tingkah lucu anak-anak itu. Ah, apakah ia memiliki masa kecil seindah itu? Entahlah, sepertinya ia ragu. Namun saat ini, Himaya seolah merasakan betapa bahagianya dunia anak kecil, dimana mereka menghabiskan banyak waktu untuk bermain, tanpa ada kekhawatiran akan suatu apa. Hmm.. Kali ini, ia bebas menatap objeknya. Anak-anak kecil itu tidak menyadari ada sepasang mata tengah menyelami dunia mereka, ikut terhanyut hingga membuat hati sang empunya lebih berwarna dengan tingkah mereka. Ingin rasanya ia ikut berlarian, menjaga mereka dari kejamnya kehidupan, merangkul mereka ketika terjatuh, ah sudahlah.
======
Begitulah Himaya menikmati setiap jengkal kehidupan. Tidak ada yang aneh darinya, selain ia gemar memperhatikan sekitar dengan mata bulatnya. Ya, tidak ada yang aneh hingga peristiwa menakjubkan itu terjadi.
======
Himaya. Siapa yang tidak kagum akan ia, gadis cantik berkulit putih dengan rambut hitam panjang yang selalu tergerai rapi. Selain itu, perangainya yang lembut nan baik hati membuat pemuda manapun akan terpesona. Di usianya yang menginjak 22, ia tinggal sendiri dirumah sederhana yang entah sejak kapan menjadi miliknya. Bahkan ia tidak ingat sejak kapan ia tinggal sendiri.
11 tahun silam, ketika usianya menginjak 11 tahun, Himaya berjalan menyusuri komplek perumahan. Hal itu sudah biasa ia lakukan –entah sejak kapan-. Mata bulatnya lincah menatap setiap potongan peristiwa sepanjang jalan yang ia lewati. Menenggelamkan ia bersama peristiwa apapun yang berhasil ia tangkap.
Bu Hadi, istri salah seorang pejabat di komplek tersebut merasa tertarik dengan Himaya, gadis yang hampir setiap hari melewati rumahnya. Ia penasaran siapa sebenarnya gadis tersebut. Selama ini ia tak lebih dari mengetahui namanya saja.
“Nak Himayaa!!” serunya pada suatu pagi.
Himaya yang tengah asyik berjalan langsung menoleh lantas membungkukkan badannya, tanda hormat.
“Sini Nak, mampir kerumah ibu. Bukankah capek sedari tadi menyusuri komplek?” ajaknya lembut.
“Terimakasih Bu. Takut merepotkan.” Ujarnya dengan seulas senyum yang....aduhai manis sekali.
“Tidak apa-apa Nak Himaya, tidak akan merepotkan” tegas Bu Hadi sembari menghampirinya.
Himaya mengangguk pelan pun sama-sama menghampiri Bu Hadi. Tinggal beberapa langkah lagi mereka hendak berjabatan tangan, seketika Bu Hadi terpental seperti menabrak sesuatu. Tidak begitu menyakitkan memang. “Ah sepertinya saya terpeleset” gumamnya.
“Bu Hadi kenapa?” ucap Himaya terkejut, ia menjongkok dan menyodorkan tangannya, hendak membantu.
Jarak tangan Bu Hadi dengan Himaya tinggal beberapa senti lagi. Namun lagi-lagi Bu Hadi merasa ada tolakan di tangannya. Berkali-kali mereka mencoba untuk berjabat tangan dan berkali-kali pula Bu Hadi terpental hingga yang terakhir kali nyaris melukainya. Ia mulai merasa ganjil dan buru-buru pergi tanpa pamit kepada Himaya.
Himaya, gadis kecil umur 11 tahun. Bingung akan kejadian yang sama sekali tidak ia mengerti. Kristal bening mulai bercucuran membasahi pipinya yang memerah. Ia tidak mengerti, sama sekali. Lantas berlari menuju rumahnya.
======
Kini, 11 tahun kemudian. Peristiwa tersebut melekat pada dirinya pun para warga yang mendengar kisahnya dari Bu Hadi. Ya, peristiwa itu menyebar dengan cepatnya. Kini, 11 tahun kemudian. Himaya tetap kebingungan, seperti bingungnya ia 11 tahun silam.

Jumat, 16 Mei 2014

Best in Me - Blue

From the moment I met you
I just know you’d be mine
You touched my hand
And I knew that this was gonna be our time
I don’t ever wanna lose this feeling
I don’t wanna spend a moment apart

Cause you bring out the best in me
Like no one else can do
That’s why I’m by your side, and that’s why I love you

Everyday that I’m here with you
I know that it feels right
And I’ve just got to be near you everyday and every night
And you know that we belong together
It just had to be you and me
=====
Hampir tiga tahun lagu ini tersimpan di file musik saya, jarang saya putar memang karena lagu ini merupakan hibah dari salah seorang sahabat. Lagu ini tidak asing sama sekali ditelinga saya, bagaimana tidak? Hampir setiap hari lagu ini diputar olehnya yang memang satu kamar dengan saya. Terbayang bagaimana hampir setiap hari saya mendengarkan lagu ini, atau sahabat saya yang menyenandungkannya sendiri.

Hmm.. Iseng saya buka kembali file tersebut beberapa pekan yang lalu dengan tujuan mengobati kerinduan kepada sahabat saya itu. “From the moment I met you, I just know you’d be mine”. Hey, kenapa lirik ini menjadi berkesan? Mengingatkan saya akan suatu hal, seseorang yang mengalami first sight-nya, persis seperti lirik tersebut.
Lantas saya perhatikan kalimat selanjutnya. Hmm..sungguh mendeskripsikan orang yang sedang bersemi dalam taman cinta.

Bagian chorusnya ini yang dulu paling saya hafal. Tetapi sekarang, lebih dari itu, bagian chorus menjadi amat berkesan. “Cause you bring out the best in me, like no one else can do. That’s why I’m by your side, and that’s why I love you.” Kekasih yang dapat memotivasi pasangannya, sehingga membuat pasangannya tersebut jatuh hati, dalam sekali.


Aduhai, apa sebenarnya yang terjadi pada diri saya? Oh, lagu ini... Hadir disaat yang tepat.