Ketika Rasulullah masih hidup, segala
permasalahan akan mendapat solusi. Jika terdapat suatu hal yang ganjil dan
perlu dipertanyakan, tanyakan kepada Rasulullah lantas beliau akan menjawab
dengan haq sesuai dengan apa yang Allah firmankan kepadanya. Jika pun beliau
belum memiliki jawaban, akan beliau tangguhkan, tanyakan kepada Allah SWT
lantas Allah mengiriminya jawaban (atau bahkan tanpa Rasulullah pinta). Beres
kan ?
Ketika Rasulullah telah tiada, sahabat
Rasul-lah yang menjadi tempat bertanya sesuai dengan apa yang mereka ketahui
dan pelajari dari dan selama Rasulullah masih hidup. Sedikit rumit, karena
suara semakin banyak, perbedaan semakin nampak dan sikap kritis pun mulai
mencuat. Namun masih dapat terselesaikan dengan memfilter semua informasi
hingga terpilihlah “jawaban” yang paling kuat baik secara konten maupun
keabsahan periwayatannya.
Ketika para sahabat pun satu persatu
menghadap-Nya, maka para tabi’in yang akan memberi jawaban sesuai dengan
informasi yang ia ketahui dari para sahabat. Perbedaan persepsi menjamur. Sikap
kritis sudah tidak dapat dielakkan lagi. Alhasil, sebagian ummat Islam mulai
mengelompokkan diri sesuai dengan persepsi yang ia fahami. Namun masih bisa
ditelusuri, mana persepsi yang valid dan tidak.
Begitu seterusnya hingga kehidupan kita saat
ini yang hampir satu setengah abad setelah Rasul. Bisa dibayangkan seberapa
valid informasi yang sampai kepada kita setelah melalui beberapa zaman dengan
segala pergolakannya. Belum lagi, sumber-sumber literatur Islam banyak sekali yang
hancur dalam peperangan. Dahulu teknologi belum secanggih ini, sahabat tidak
bisa memposting data, mengupload di akun pribadi dan lain sebagainya, sehingga
ketika semua hancur, data tersebut masih aman. Tidak.
Maka, perbedaan telah menjadi hal yang lumrah
adanya. Ada yang mengikuti pendapat sahabat A, sahabat B, tabi’in A,
tabi’ittabi’in B, dan yang lainnya. Tidak masalah. Ketika pendapat tersebut
masih bersumberkan Al-Qur’an dan Hadits, pun tidak melanggar aqidah Islam.
Allah telah menegaskan dalam firman-Nya bahwa “Tidak
ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)”
Jadi, tak perlulah kita memaksakan saudara
sesama Muslim untuk masuk kedalam golongan yang kita berada didalamnya, selama
ia masih berada dalam koridor Islam. Hargai apa yang saudara kita yakini, dan
fahamkanlah secara baik-baik jika ia memang salah arah. Bukankah kita
sendiripun belum tentu benar ? Kita hidup beribu tahun setelah Rasul, lho!
Hal yang paling penting adalah tidak ada kata
“taklid buta” atau menganut suatu faham tanpa
mengetahui ilmunya. Sebatas ikut-ikutan
saja karena banyak yang mengamalkannya. Nah, semestinya kita selalu mencari
kebenaran akan apa yang kita anut sebisa mungkin dengan segala sumber yang ada
utama Al-Qur’an dan Hadits.