Minggu, 23 Februari 2014

Stay Cool with Difference



Ketika Rasulullah masih hidup, segala permasalahan akan mendapat solusi. Jika terdapat suatu hal yang ganjil dan perlu dipertanyakan, tanyakan kepada Rasulullah lantas beliau akan menjawab dengan haq sesuai dengan apa yang Allah firmankan kepadanya. Jika pun beliau belum memiliki jawaban, akan beliau tangguhkan, tanyakan kepada Allah SWT lantas Allah mengiriminya jawaban (atau bahkan tanpa Rasulullah pinta). Beres kan ?

Ketika Rasulullah telah tiada, sahabat Rasul-lah yang menjadi tempat bertanya sesuai dengan apa yang mereka ketahui dan pelajari dari dan selama Rasulullah masih hidup. Sedikit rumit, karena suara semakin banyak, perbedaan semakin nampak dan sikap kritis pun mulai mencuat. Namun masih dapat terselesaikan dengan memfilter semua informasi hingga terpilihlah “jawaban” yang paling kuat baik secara konten maupun keabsahan periwayatannya.

Ketika para sahabat pun satu persatu menghadap-Nya, maka para tabi’in yang akan memberi jawaban sesuai dengan informasi yang ia ketahui dari para sahabat. Perbedaan persepsi menjamur. Sikap kritis sudah tidak dapat dielakkan lagi. Alhasil, sebagian ummat Islam mulai mengelompokkan diri sesuai dengan persepsi yang ia fahami. Namun masih bisa ditelusuri, mana persepsi yang valid dan tidak.

Begitu seterusnya hingga kehidupan kita saat ini yang hampir satu setengah abad setelah Rasul. Bisa dibayangkan seberapa valid informasi yang sampai kepada kita setelah melalui beberapa zaman dengan segala pergolakannya. Belum lagi, sumber-sumber literatur Islam banyak sekali yang hancur dalam peperangan. Dahulu teknologi belum secanggih ini, sahabat tidak bisa memposting data, mengupload di akun pribadi dan lain sebagainya, sehingga ketika semua hancur, data tersebut masih aman. Tidak.

Maka, perbedaan telah menjadi hal yang lumrah adanya. Ada yang mengikuti pendapat sahabat A, sahabat B, tabi’in A, tabi’ittabi’in B, dan yang lainnya. Tidak masalah. Ketika pendapat tersebut masih bersumberkan Al-Qur’an dan Hadits, pun tidak melanggar aqidah Islam.
Allah telah menegaskan dalam firman-Nya bahwa “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)”

Jadi, tak perlulah kita memaksakan saudara sesama Muslim untuk masuk kedalam golongan yang kita berada didalamnya, selama ia masih berada dalam koridor Islam. Hargai apa yang saudara kita yakini, dan fahamkanlah secara baik-baik jika ia memang salah arah. Bukankah kita sendiripun belum tentu benar ? Kita hidup beribu tahun setelah Rasul, lho!

Hal yang paling penting adalah tidak ada kata “taklid buta” atau menganut suatu faham tanpa 
mengetahui ilmunya. Sebatas ikut-ikutan saja karena banyak yang mengamalkannya. Nah, semestinya kita selalu mencari kebenaran akan apa yang kita anut sebisa mungkin dengan segala sumber yang ada utama Al-Qur’an dan Hadits.

Kecamuk Dunia





Dunia sedang mengantuk...
Hampir terlelap...
Dalam buaian masa...
Tak melihat...
Apa yang terjadi dengan dirinya

Berkecamuk...
Perang dimulai kembali....
Bunga-bunga telah layu...
Hati telah kering....
Haus......
Namun tak menerima air

mmmhhhh.....
Dunia yang penuh dengan api...
Dan manusia yang juga makan api....
Astagfirullahaladziim...
Rabbi...
Boleh ku minta Muhammad-ku kembali?



Ranah Damai, 2011

Selasa, 18 Februari 2014

AUTOBIOGRAFI



Sejak lahir saya diberi nama Dedeh Badrullaela dan biasa dipanggil Dedeh. Lahir di sebuah desa yang masih sangat hijau di Kabupaten Ciamis pada tanggal 18 Januari 1995. Sungguh karunia yang tak terkira, saya terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari orangtua yang sangat menyayangi anak-anaknya dan mendidiknya dengan telaten. Ayah saya bernama Ade Hasan dan berprofesi sebagai guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di salahsatu SMP di Ciamis. Ibu saya bernama Rosmawati dan berprofesi sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Saya dibesarkan di tanah kelahiran tepatnya di RT 06/RW 22 Dusun Sukamaju Desa Cileungsir Kecamatan Rancah Kabupaten Ciamis yang merupakan kediaman orangtua saya hingga sekarang.
Saya menghabiskan masa kecil hingga SLTP di kampung halaman. Pertama kali mengenyam pendidikan formal di SDN 3 Cileungsir kemudian melanjutkan ke MTs GUPPI Cileungsir. Selepas lulus dari MTs, saya mulai merantau jauh dari orangtua. Saya tinggal di Pondok Pesantren Darussalam Ciamis dan bersekolah di MAN Darussalam. Kini, saya menempuh pendidikan S1 di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Khusus.
Semenjak kecil saya hanya tinggal dirumah dan mainan saya sehari-hari hanyalah majalah anak, buku tulis dan mesin tik kesayangan ayah. Oleh sebab itu, hingga sekarang saya suka membaca dan menulis, meskipun hobi saya ini baru terfasilitasi ketika sudah memasuki pondok pesantren.
Saya muslim dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis, kebetulan kakek buyut saya mewariskan sebuah pesantren kepada anak-anaknya. Sebagian besar anggota keluarga termasuk orangtua saya berprofesi sebagai guru. Itupula yang menyebabkan saya bercita-cita menjadi seorang tenaga pendidik semenjak kecil, meskipun saya tidak pernah membayangkan akan menjadi guru anak berkebutuhan khusus sesuai dengan jurusan yang saya tempuh sekarang.
Selama SD hingga SLTP, prestasi saya dalam hal akademik cukup baik. Peringkat pertama tidak pernah saya berikan kepada orang lain. Begitupula ketika memasuki pondok pesantren, prestasi akademik saya tidak begitu jelek. Namun hal itu tidak begitu membanggakan bagi saya, karena hanya catatan di raport sekolah saja. Dalam bidang lain saya kurang memaksimalkan diri karena dahulu di kampung sana, tidak ada semangat untuk hal itu, melihat lingkungan sekitar pun dalam pandangan saya, anak usia sekolah dasar saat itu tidak banyak yang istimewa.
Ketika duduk di bangku SD hingga SLTP, saya sempat beberapa kali mengikuti lomba pidato dari mulai pidato antar sekolah agama, tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten. Dari kesemua perlombaan yang saya ikuti, hanya perlombaan antar sekolah agama yang pernah saya menangkan. Namun bagi saya saat itu, menang bukanlah tujuan, pengalamanlah yang lebih dicari.
Masa SLTA adalah masa-masa belajar berorganisasi. Ditengah kepadatan aktifitas di sekolah dan pesantren, saya terlibat dalam beberapa organisasi, yaitu Pramuka sebagai anggota, Journalist Student Club (JSC), IKDAS (Ikatan Keluarga Daerah Asal Santri) Mustika Galuh sebagai wakil ketua dan Forum Siswa MAPK (Madrasah Aliyah Program Keagamaan) sebagai biro bahasa. Dari organisasi-organisasi ini, saya belajar banyak hal yang tidak bisa ditemui di dalam kelas.


Motto hidup saya sederhana saja, yaitu “Menjadi diri sendiri yang lebih baik, lantas istiqomahkan”.
Untuk kepentingan akademik, saya dapat dihubungi melalui telepon dengan nomor 08********** atau melalui Blackberry Messenger dengan pin 2B174C44, pos elektronik dbadrullaela@gmail.com, alamat website dbadrullaela.wordpress.com dan dbadrullaela.blogspot.com, atau melalui jejaring sosial facebook dengan nama Dedeh Badrullaela, dan twitter di @LaylaFauzeea.

Sabtu, 15 Februari 2014

Empat Belas Februari

Jum’at, 14 Februari 2014. Saya rasa tidak ada yang berbeda. Sama seperti hari yang lainnya. Namun sepertinya tidak begitu dengan sebagian yang lain, hari ini –bagi mereka- hari yang spesial, hari kasih sayang atau dikenal sebagai Valentine’s Day. Tentu saja hal ini kontras dengan keyakinan ummat Muslim dengan berbagai alasan penguatan yang sepertinya tidak perlu saya paparkan –saking sudah jelas dan menyebarluasnya alasan tersebut.

Tetapi herannya, justru saya merasa diingatkan oleh saudara-saudara sesama Muslim akan hari tersebut. Bagaimana tidak ? Di berbagai jejaring sosial, pesan singkat, BBM, teramat banyak yang memberitakan hal tersebut. Memang, kontennya adalah penolakan terhadap Valentine’s Day, namun dengan menyebarluaskan berita penolakannya seperti ini, malah membuat orang seperti saya yang bahkan tidak ingat dengan rumor Valentine’s Day merasa teringatkan. Setidaknya muncul ujaran seperti ini “Oh iya, tanggal 14 Februari nanti itu Valentine”.

Saya pikir, jika sungguhan menolak lebih baik menolak dengan tidak membahasnya sama sekali. Lantas ketika ada sahabat yang masih merayakan hari yang tak perlu dirayakan ini, nasihatilah. Sederhanakanlah cara kita, tak usahlah dibuat serumit itu. Karena dengan gencarnya penolakan kaum Muslim di berbagai media, seolah-olah Valentine’s Day itu digelorakan oleh kaum Muslim sendiri.

(Tuh kan, saya jadi membahasnya juga ? hihihi)

Baiklah, saya hanya menggunakan hak saya untuk berpendapat. Karena peristiwa seperti ini sungguh menggelitik, terlebih bagi saya yang memang tidak ada hari Valentine dalam kalender kehidupan saya. Hari ini, sama spesial seperti hari-hari yang lain. Penuh senyuman, semangat dan harapan.