Senin, 10 Februari 2014

Jatuh Cinta (lagi) -part 1-



“Kaka kakaa...nulisnya yang mana aja ?”

“Ka Dedeh Ka Dedeh....aku ga mau nulis, mau gambar !!!”

“Teteeeehhhh....dia bandel, gangguin aku terus”

Fyuuuuuhhh....ternyata mengajar bukanlah yang mudah, apalagi anak kecil, jangan diremehkan. Ketika berada dalam posisi sebagai seorang guru, kelihaian dalam mengatur lingkungan belajar sangat diperlukan. Jangan sampai terbawa suasana sehingga materi pembelajaran yang mesti disampaikan malah terabaikan, pun sebaliknya, jangan sampai terfokus pada materi pembelajaran sedangkan lingkungan atmosfir kelas dikesampingkan. Di perkuliahan, teori mengenai pendidikan nampak mudah, namun tidak begitu dalam mengaktualisasikannya di lapangan.

Cerita ini berawal dari Kamis, 06 Februari lalu. Alhamdulillah, aku bersama dua teman lainnya diizinkan untuk menjadi sukarelawan guru pendamping khusus (GPK) di SDN 3,4 Sarijadi Kota Bandung, mengisi waktu luang dengan belajar menangani anak berkebutuhan khusus (ABK). Disambut oleh suasana nan ramah, menjadikanku kian nyaman berada disana.

Esok harinya petualangan pun dimulai. Pagi itu aku sedikit bersantai, entahlah aku seringkali memanjakan diriku dengan bersantai. Lagipula temanku yang akan berangkat ke SD juga menjanjikan untuk berangkat sekitar pukul 07.00. Selepas shalat subuh aku hanya membaca buku, membuka laptop, lantas menulis satu dua kata, membaca kembali, dan hey tak terasa sudah jam 06.15. Baiklah aku segera sarapan dan pergi ke kamar mandi. Tidak seperti biasanya, mandi pun menghabiskan waktu begitu lama hingga ketika keluar dari kamar mandi, temanku sudah menunggu.

Terburu-buru aku berganti pakaian dan –seperti biasa- berdandan seadanya, lalu segera berangkat menuju medan peraaaaaannggg *bersemangat*.

Setibanya di sekolah, tidak lantas masuk kelas, masih harus menunggu hingga Ibu Kepala Sekolah tiba. Lama menunggu sampai bel tanda masuk berbunyi. Beberapa menit kemudian Ibu Wali Kelas 1 –yang entah siapa namanya- mengantarkan kami ke kelas masing-masing. Kedua temanku ditempatkan di kelas dua sedangkan aku sendiri ditempatkan di kelas empat.

Sedikit gemeteran ketika hendak memasuki kelas, tetapi okelah. Anak-anak sedang fokus dengan kertas ulangannya masing-masing. Begitupun Aziz, anak yang akan aku dampingi. Ia begitu serius dengan ulangannya ini, meski memang bobot ulangannya tidak sama dengan teman-temannya itupun didampingi oleh helper pribadi. Ya, ia baru mampu membaca dan menyalin tulisan dan itu merupakan sebuah pencapaian yang sangat baik, mengingat ia seorang mental retarded (MR).

Hari itu aku banyak menghabiskan waktu dengan bercakap-cakap bersama Bu Sri yang merupakan helper dari Aziz. Ternyata basicnya bukanlah dari Pendidikan Khusus, hanya karena menolong teman yang membuat ia berani terjun di dunia ABK. Ya, hari itu tetap istimewa karena aku banyak belajar dari Bu Sri meskipun aku gelagapan ketika ditanya berbagai materi ke-PKh-an. Dan aku baru paham, kenapa aku ditempatkan di kelas empat, bersama anak yang sebenarnya sudah memiliki helper. Tiada lain karena aku mahasisiwi PKh lantas dianggap lebih paham karena mempelajari ilmunya untuk menangani Aziz yang akhir-akhir ini malas belajar. Ini benar-benar mengejutkan. Kenapa bisa Bu Yuni (wali kelas empat) percaya begitu cepat ? X_X
 
-to be continued-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar