Jumat, 31 Januari 2014

Desaku Masih Seperti Dulu


 
Desaku masih seperti dulu
Pepohonan rimbun menjulang
Pesawahan menghampar
Hijau sejauh mata memandang

Desaku masih seperti dulu
Sapaan hangat menjadi teman
Gotong royong menjadi adat
Kepedulian membudaya

Desaku masih seperti dulu
Jalan berlubang dimana-mana
Jalan ini sudah tidak bisa dikatakan rusak
Tidak layak sepertinya lebih tepat

Desaku masih seperti dulu
Petani tetap menjadi petani
Buruh tetap menjadi buruh
Dengan lahan sekian, penghasilan sekian
Setiap tahun masih seperti itu

Desaku masih seperti dulu
Sekolah setingkat SLTP masih dipandang cukup
Bekerja di ladang, di pabrik
Merantau ke kota sebulan dua bulan
Kembali membawa uang ratusan ribu sudah cukup membanggakan
Gadis belasan tahun menikah
Mengurus anak dan suami menjadi fitrah

Ya, Desaku memang masih seperti dulu
Membutuhkan sang pembaharu
Utama untuk cara berfikir yang sesederhana kata cukup

Tetapi bagaimanapun, Desaku masih seperti dulu
Ketentraman menghangat di seluruh penjuru

Rabu, 15 Januari 2014

Hikmah Perjumpaan dengan Ofaa

Selama ini aku kira hidup sebatang kara, peristiwa kekerasan, ditelantarkan oleh keluarga hanyalah karangan fiksi yang terdapat di sinetron belaka. Malam ini suatu pertemuan membawaku kedalam cerita di “dunia yang sesungguhnya”.

Kisah ini bermula ketika aku mengikuti kajian di mesjid Daarut Tauhid Bandung. Seorang anak usia 4,5 tahun mulai menarik perhatianku. Ya, dibalik itu aku memang selalu tertarik kepada anak kecil, tapi untuk menarik perhatian mereka tak selalu mulus. Menyedihkan memang, mungkin aku kurang lucu ? Ooh kelucuan seperti apalagi yang kau harapkan adik ? Eits, hush hush.. Aku bukan mau menceritakan itu. Tapi, dia nampak tertarik kepadaku \(^_^)/ . Ia duduk disampingku kemudian aku ajak ia berbicara. Hey, dia begitu akrab dan komunikatif. Dia juga tidak terkesan sebagai anak bandel, nakal atau susah diatur. Dia bahkan mengikutiku shalat padahal sebelumnya ia katakan malas shalat karena orang-orang shalatnya lama. Haduhh, ini anak...ckckck

Usai shalat aku kembali mengajaknya berbincang dan bergurau, duhai sungguh hangat sekali. Karena waktu semakin malam, aku mulai merapikan mukena ku dan berpamitan untuk pulang. Namun melihat raut wajahnya yang  mendung, aku mengurungkan niat tersebut. Kemudian aku mengajaknya berbincang dan bercerita beberapa hal yang –semoga- anak-anak sukai. Hingga setengah jam kemudian, aku masih asik berbincang sampai akhirnya aku benar-benar berpamitan dan ia mengatakan “Ofa antel sampe bawah ya teh”. Akupun mengangguk.

Ketika hendak menuruni tangga, ia dipanggil oleh sang ibu. Dengan bermaksud sedikit basa basi karena merasa telah mengambil perhatian anaknya selama beberapa menit –aseeek- , setelah saling bertanya asal daerah, ternyata ia mengetahui almamaterku, Ponpes Darussalam, akupun terjebak dalam perbincangan panjang yang membuatku terus beristighfar dan berucap syukur dalam hati.

Ibu ini hidup sebatang kara. Orangtuanya sudah meninggal, saudara kandungnya tidak mau mengakui keberadaannya, suaminya apalagi. Dahulu ia menikah siri dengan seorang lelaki jawa. Setelah menikah beberapa bulan, ia memutuskan untuk bekerja sebagai TKW diluar sana. Ketika pulang ke Indonesia, ia mendapati suaminya telah beristri dengan status pernikahan yang sah secara agama maupun administratif (bukan siri). Kala itu suaminya pun menetapkan pilihan untuk tinggal bersama istri mudanya, tepat ketika ia mendapati dirinya hamil 2 bulan. Alhasil, ia mengandung, melahirkan dan membesarkan anak tanpa suami disampingnya. Hingga saat itu, ia masih bersabar sampai suatu hari ia memutuskan untuk bekerja keluar negeri lagi, dan berniat menitipkan anaknya kepada sang suami. Namun apa daya, ketika ia mengunjungi rumahnya, ia sama sekali tidak diizinkan masuk bahkan oleh mertuanya sekalipun. Duhai, nenek mana yang tak ingin menimang cucunya ? kenapa mereka tega sekali.

Hingga bertahun-tahun kemudian, sang ibu memilih bekerja di sebuah pabrik di ibukota dan menitipkan anaknya kepada tetangga. Namun naluri seorang ibu, ia merasa tidak nyaman ketika anaknya bersama oranglain, -ada ketakutan yang luar biasa memancar dari wajahnya. Nah alasan itulah yang menyebabkan hingga saat ini ia terus kesana kemari dengan tujuan mencari pesantren (salah satu yang sempat ia kunjungi adalah Darussalam) yang bisa menampung anaknya dengan biaya gratis dan ia bisa tetap melanjutkan pekerjaannya..

Dari sinilah aku terus bersyukur. Ia masih memberiku nafas, lengkap dengan orang-orang yang menyayangiku, pun dengan rizki yang senantiasa mengalir. Subhanallah. Tidak semua orang merasakan hal tersebut bahkan hal sesederhana kata “sayang”. Aku yakin Allah merencanakan pertemuan ini agar aku mampu belajar bersyukur.

Ini nyata teman-teman...bukan kisah sinetron ><

Sabtu, 11 Januari 2014

Kenapa PLB ?


Sekarang aku ingin bercerita lagi *loh bercerita terus..

Berhubungan dengan postingan sebelumnya, kenapa saya memilih jurusan Pendidikan Khusus ?
Berawal dari semester pertama kelas XII. Disaat aku dihunjam dengan pertanyaan “mau kuliah dimana, jurusan apa ?” oleh orangtuaku –sungguh pertanyaan yang menyebalkan-, takdir membawaku pada film The Miracle Worker atau lebih dikenal dengan Hellen Keller. Selama menonton film tersebut pikiranku terus saja berputar, “jika anak seperti itu memang ada, kasihan sekali” “bagaimana bisa Anne Sulivan mengajarnya hingga sukses, apa itu nyata ?”. Hingga hari-hari berikutnya selalu terpikirkan hal tersebut sampai akhirnya aku terpikirkan untuk mengajar mereka (re: anak berkebutuhan khusus).

Yaaaa... mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) aku harus masuk jurusan Pendidikan Luar Biasa (sekarang Pendidikan Khusus). Tapi, dimana ada jurusan tersebut ? Setelah ditelusuri, ada di Universitas Pendidikan Indonesia. Tetapi aku tidak langsung memberitahukannya kepada kedua orangtua. Takut, ragu, dan tidak pede. Takut tidak disetujui, ragu apakah aku yakin, tidak pede apakah aku bisa ? namun waktu terus berjalan, tidak mau berhenti -tidak ada lampu merah juga sih. Akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara kepada orangtua. Pada mulanya mereka kaget –terutama Mama- namun mereka mengiyakan juga.

Dengan segenap Ikhtiar, do’a dan ridho orangtua yang bersatu padu memberi sinergi luar biasa untuk keberhasilanku. Ya, aku diterima di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Luar Biasa (sekarang Pendidikan Khusus).

Meski sudah diterima, keraguan demi keraguan kerap kali muncul. Apa saya bisa ? Apa ini jalan terbaik saya ?
Setelah dipikir-pikir, aku harus menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Sekian lama aku berusaha untuk ini, dengan segenap doa orangtua. Dan aku yakin, salahsatu penyebab aku diterima di universitas tersebut adalah ridho orangtua.

Kehidupan baru di kota Kembang pun dimulai, tepatnya tanggal 20 Agustus 2013. Aku sadar, ternyata hidup menjadi anak kostan di kota besar itu tidak mudah. Karenanya, aku selalu merindukan pondok. But, that’s my way. I must be stronger, I’ll do a studyhard to get my dream. Yeah, I must raise up.

Setelah memasuki wahana perkuliahan aku semakin tertarik ingin menyelam lebih dalam pada dunia ABK ini. Semakin lama dunia ABK menarikku untuk tenggelam dan menikmati dunia mereka. Sungguh menantang !!  Ketika berhadapan dengan mereka maupun hanya berhadapan dengan pembahasan mengenai mereka di perkuliahan, aku merasa sedang menghadapi soal matematika, sulit tapi selalu ada rumus dan hasilnya. Aku bahagia dan sangat bahagia.

Terlepas dari ketertarikan dan prospek kedepan dengan menempuh pendidikan ini, ada hikmah yang selalu membayang di benakku. Allah mengirimku kesini, berkenalan dengan dunia mereka, agar aku lebih bersyukur. Bagaimana tidak ? Mereka memiliki hambatan hanya karena hal yang sangat sederhana seperti kelainan gen. Loh, gen kan hanya makhluk kecil ? tapi sungguh, hanya diubah sedikit saja tatanannya oleh Allah, dampaknya luar biasa.

Terimakasih Ya Allah. Engkau selalu memiliki rencana yang lebih indah.

Segenggam Cita dalam Doa


Awal tahun 2014. Seperti halnya di awal tahun sebelumnya, masa-masa ini adalah masa kegalauan siswa kelas XII. Galau perihal kelulusan di sekolah pun galau menentukan langkah selanjutnya setelah lulus.

 Pertanyaan adik kelas perihal kelanjutan studi melayangkan bayanganku pada memori setahun silam. Akupun pada posisi yang sama. Bingung, ragu dan tidak pede.

 Berawal dari semester pertama kelas XII. Aku memutuskan untuk memilih Pendidikan Luar Biasa di Universitas Pendidikan Indonesia. Memasuki semester kedua, pendaftaran SNMPTN pun dimulai. Galau. Aku tidak tahu apakah ini pilihan terbaik atau bukan ? Yang penting orangtua meridhai. Dengan menetapkan Pendidikan Luar Biasa UPI sebagai pilihan pertama dan Bimbingan Konseling UPI sebagai pilihan kedua, akupun mendaftar SNMPTN. Ini kesempatan emas, karena kita tidak perlu melaksanakan test, cukup dengan nilai raport.

Waktu terus berjalan, tidak berlari dan tidak ngesot sih, tetap satu menit tigapuluh detik. Namun ketika dalam penantian, waktupun terasa begitu lama. Keraguan demi keraguan pun muncul. “bagaimana mungkin dengan basic Program Keagamaan bisa diterima di universitas umum dengan jurusan yang tidak sesuai pula ?”. SPMB-PTAIN jalur PPA pun datang bak malaikat membantu menenangkan kegalauanku. Sontak saja aku mendaftar, tak  ingin ketinggalan apalagi hanya 25 orang dari satu sekolah yang diperbolehkan ikut. Singkat cerita akupun mendaftar dengan tidak begitu yakin, pun tanpa ridho orangtua, hanya karena menjadikannya plan B, “cari aman”, ke UIN Syarif Hidayatullah dengan pilihan jurusan Psikologi, Pendidikan Bahasa Arab dan Sejarah Peradaban Islam.

Jiaaah..tiba juga tanggal 28 Mei 2013. Ya, hari pengumuman hasil SNMPTN pukul 16.00. Sepanjang hari terus saja membayang di benakku, betapa senangnya ketika lulus dan bagaimana jika tidak lulus ? Kegalauan pun bertambah karena hari itu ada jadwal pengajian,  itu artinya kita tidak bisa membuka langsung hasilnya pada saat itu !! untungnya, ada Pak Fani Rahman yang sangat setia dengan semua perihal SNMPTN. Sekitar pukul 5, akhirnya kami pun mengetahui hasilnya. Dan aku, gagal kala itu. Mata ini ingin menangis namun tak sanggup. “Masih ada SPMB-PTAIN dan coba daftar SBMPTN” pikirku. Aku masih begitu ingat salah seorang sahabatku, Azka yang membisikkan sesuatu "Kita harus menang didalam kekalahan. Salahsatu caranya, kita ucapkan selamat kepada yang lulus dengan bibir tetap tersenyum". Hmm... meski sulit aku ikuti saja perkataan dia, karena tidak ingin menjadi seorang yang benar-benar "kalah".

Dua hari kemudian, pengumuman SPMB-PTAIN. Tak  disangka, aku diterima di jurusan Sejarah Peradaban Islam. Aku senang bercampur bingung. “bagaimana ini ? haruskah diambil sedangkan orangtuaku kurang menyetujui ?”. Dan pada hari itu pula aku berencana untuk mendaftar SBMPTN. Dengan segenap kebingungan yang melanda, akupun mendaftar SBMPTN. Namun aku sudah pesimis akan berhasil di SBMPTN, karena harus melalui test tulis dengan kelompok ujian Sosial Humaniora. “bisa apa aku ? belajar IPS pun hanya sampai kelas X” pikirku.

Begitulah hari-hariku selanjutnya, galau dan galau. Aku sudah sangat tertarik dengan UIN Syahid, namun orangtua keukeuh tidak mengizinkan. Okelah, dengan segala pertimbangan dan kegalauan juga melalui perdebatan dengan orangtua, akhirnya aku menetapkan pilihan “Tidak akan mengambil kursi yang tersedia di UIN Syahid, akan berusaha lolos SBMPTN –sesuai dengan cita-cita awalku-. Konsekuensi jika tidak lolos, aku akan menetap di pondok tercinta dan kuliah di Institut Agama Islam Darussalam.”

Hari-hari berikutnya aku rasa lebih enteng, karena aku sudah memiliki tekad untuk tidak jatuh ketika tidak tercapai, karena aku siap menetap di pondok, namun demikian aku tetap berusaha dengan berbekal buku latihan soal SBMPTN dan do’a dari semua pihak.

Singkat cerita –yah, jika tidak disingkat aku takkan berhenti bercerita-, test SBMPTN pun dimulai, selama dua hari. Sudah bisa ditebak bukan, bagaimana aku mengerjakannya ? Pada test pertama, test potensi akademik berjalan lancar. Nah test kedua, test kemampuan dasar umum mulai gelisah. Tak disangka soalnya begitu sulit –bagiku. Strategi terakhir pun dilaksanakan, dengan “asal mengisi” dan cari jawaban yang “kira-kira benar”. Hari terakhir –test akhir- lebih parah lagi. Dengan materi Sosial Humaniora, aku kelabakan. Strategi diatas pun menjadi pilihan satu-satunya. Yah, begitulah nasibku di SBMPTN menggunakan strategi “kira-kira” (bukan kira-kira ninja ya..). oke, aku keluar ruangan dengan nafas lega. Terserah Allah bagaimana hasilnya, yang penting aku sudah melaksanakan dan akupun punya plan C.

Hari-hari setelah test SBMPTN, sudah sangat kecil harapan yang tersisa dalam benakku bahkan orangtuaku. Begitupun orang-orang, banyak yang mengira aku sudah gagal dan akan masuk IAID saja. Baiklah, tak apa. Karena siapa tau aku kuliah disana. Ketika ditanya perihal kuliah aku selalu menjawab “Sedang berusaha ke UPI, tapi entah nanti jadinya kemana”. Ketika aku ke pondok, orang-orang pondok, adik-adik kelas banyak yang mengatakan “Dedeh di IAID ya ?” (mungkin karena akupun terlampau sering ke pondok). Aku selalu menjawab “gak tau, sekarang lagi nungguin hasil SBMPTN ke UPI, kalau gak keterima, Insya Allah di IAID”. Oke, fine. Aku tidak bermasalah karena aku sudah tidak begitu berharap.

Pada tanggal sekian Juli (aku lupa tepatnya), ada kabar bahawa pengumuman SBMPTN akan dibuka pada tanggal 11 Juli. Aku begitu harap-harap cemas. Namun karena sudah pernah mengalami kegagalan, akhirnya menjadi biasa saja. Orangtua dan kerabat lebih gugup. Namun dengan tegas aku mengatakan “Mah, Pa, jangan terlalu berharap, karena ini berat”. Mereka mengiyakan. Pada saat itu, aku dan orangtua malah membicarakan perihal pendaftaran ke IAID, “mau diambilin formulir sama siapa ?” “mau ngambil jurusan apa ?”

Tanggal 11 Juli pengumuman akan dibuka pukul 17.00. Aku pergi ke tempat Bapak ngajar karena dirumah tidak ada akses internet. Sambil menunggu jam tersebut, aku chatting dengan rekanku yang sama-sama menunggu. Berbagai ungkapan dilontarkan, harapan, kecemasan dan langkah yang akan diambil selanjutnya jika gagal. Diantara mereka aku merasa paling rentan gagal karena dalam mengisi aku ceroboh, pun hanya sedikit sekali persiapan.

Teng teng teng... pukul 17.00. kedua rekanku sudah membuka hasilnya, dan sayang sekali gagal. Akupun merasa sudah begitu pesimis apalagi aku lupa nomor peserta hingga harus menelpon Mamah terlebih dahulu. Sekitar 5 menit kemudian Mamah menyebutkan nomornya. Dannnnnn....


Pada awalnya aku belum sadar “Loh kenapa ada jurusannya ?” Bapak melihat dari belakangku, “Pak, keterima ih” kemudian beliau dengan menitikkan airmata bergumam “Alhamdulillah, keterima”. Tak bisa dibayangkan bagaimana bergetarnya badanku saat itu, dengan keringat dingin dan muka kaku tak percaya. “Allah, inikah janji-Mu (mengenai ridho orangtua)?”. 

Langsung saja aku mengabarkan langsung kepada Mamah, Kakek dan Nenek. Mereka menangis terharu, akupun ingin menangis namun tertahan oleh rasa senang dan belum sadar. Bapak mengabarkan kepada semua kerabat pun aku mengabarkan kepada sahabat-sahabatku akan hadiah dari Allah yang begitu mengejutkan ini.

Kini, enam bulan berlalu. Aku sudah melaksanakan UAS pertamaku, artinya akan segera memasuki semester kedua. Aku tak menyangka, Aku bahagia, aku berterimakasih pada-Nya. Sampai saat ini, aku tidak tahu kenapa aku diterima dan entah do’a siapa yang dikabulkan oleh Allah. Mungkin doa dari kerabat, teman-teman, guru ? Entahlah, namun aku sangat yakin akan kekuatan ridho orangtua.

Nah, adik-adik.. semoga kisahku bisa dijadikan pelajaran. Terus semangat berikhtiar ya, jangan lupa sertakan Allah dalam setiap hal, dan patuhlah kepada orangtua, karena ridho mereka adalah segalanya. ^^

Jumat, 03 Januari 2014

Kepergian Sang Guru Besar #part 2


Seperti yang ku utarakan di awal, KH. Abdul Fatah ini selalu hangat dengan celotehan ringannya. Teguran seorang guru memang hal biasa, gaya beliau menegur, luar biasa. Khas dan selalu terkenang. Terkadang ia mengatakan “gandeng !! (jangan berisik)” sembari memukul perutnya sendiri dan diakhiri tawa renyah. Sontak saja kami tertawa tak tertahankan. Atau ia gunakan kata “ulah gandeng, cabok ku bapa (jangan berisik, nanti bapak pukul)” dan lagi-lagi tawa renyahnya membumbui.

Satu hal lagi yang akan kuutarakan disini –karena kisah bersama beliau sangat banyak, beliau salahsatu guru sepuh yang selalu ingat nama santrinya. Begitupun denganku. Duhai, bahagianya ketika tutorial maupun pengajian berlangsung, beliau menyebut namaku sembari menunjukku untuk menjelaskan suatu hal atau menanyakan pendapatku sendiri. Dan alangkah bahagianya ketika beliau mengatakan jawabanku benar –ahaa. Dan Sang Pendekar Hadits ini tidak sungkan-sungkan untuk menjawab pertanyaan dari santrinya bahkan apabila beliau tidak mampu menjawabnya saat itu, beliau akan menjawabnya di waktu yang lain. maka, kepada beliaulah aku seringkali bertanya banyak hal bahkan sampai mendetail terutama mengenai fikh dan hadits.

Rasanya tidak sampai pula pada akhirnya, saking banyaknya kenangan bersama beliau.
Aku masih teringat perjumpaan-perjumpaan terakhir bersama beliau. Ketika menjelang Silaturrahim Akhir Tahun Ajaran Pesantren, beliau bertanya “kamana neruskeun kuliah Neng ?” “insya Allah hoyong ka UPI jurusan PLB, Pak, tapi teu acan katampi”jawabku dengan tidak bersemangat karena teman-temanku yang lain sudah banyak yang berhasil mendapatkan kursi perkuliahan. “Oh sae atuh, kapayun na oge sae PLB mah, ngan kudu sabar nya Neng. Sok dido’akeun ku Bapa sing lulus”. Seketika aku pun bersemangat, ingin sekali segera test SBMPTN, dan jika lulus aku akan mengabarkannya kepada beliau. Akhirnya pada suatu kesempatan ketika aku sudah dinyatakan diterima, aku kembali berjumpa dengan beliau meski hanya sesaat. Dengan girangnya aku menghampiri “Bapaa, damang ?” sapaku sembari mencium tangannya. “Eh, Dedeh. Alhamdulillah. Dimana ayeuna teh ?” pertanyaan yang sangat aku nantikan. “Alhamdulillah abdi katampi di UPI pak, jurusan PLB.” Jawabku kegirangan. “Syukur atuh sok sing sukses nya Neng”. Jawabnya dengan senyum hangat yang khas itu. Setelah berbincang sesaat, beliaupun pamit dengan selipan humornya. Duhai, saat itu aku bersemangat sekali. Dalam hati aku bertekad “Aku harus sukses, nanti aku akan kembali ke Darussalam, menjumpai Pa Fatah dengan kabar gembira. Ia akan tersenyum bahagia dengan senyuman hangatnya”. Namun apa daya, belum sempat aku kembali berjumpa dengannya, Allah telah memiliki rencana yang lebih indah. Allah telah mengambil sang Guru Besar itu, pejuang pendidikan yang sangat luar biasa.

Innalillahi wa Inna Ilaihi raaji’uun. Semoga dalam keadaan husnul khatimah dan ditempatkan di surga-Nya. Amiin.

Ya, tahun baru. 2014. Engkau kembali ke pangkuan-Nya. Menjejaki kehidupan abadi. Doaku selalu terpancar untuk engkau.
 
Kami sayang engkau, Guru.