Awal tahun 2014. Seperti halnya
di awal tahun sebelumnya, masa-masa ini adalah masa kegalauan siswa
kelas XII. Galau perihal kelulusan di sekolah pun galau menentukan langkah
selanjutnya setelah lulus.
Pertanyaan adik kelas
perihal kelanjutan studi melayangkan bayanganku pada memori setahun silam. Akupun
pada posisi yang sama. Bingung, ragu dan tidak pede.
Berawal dari semester
pertama kelas XII. Aku memutuskan untuk memilih Pendidikan Luar Biasa di
Universitas Pendidikan Indonesia. Memasuki semester kedua, pendaftaran SNMPTN pun dimulai.
Galau. Aku tidak tahu apakah ini pilihan terbaik atau bukan ? Yang penting
orangtua meridhai. Dengan menetapkan Pendidikan Luar Biasa UPI sebagai pilihan
pertama dan Bimbingan Konseling UPI sebagai pilihan kedua, akupun mendaftar
SNMPTN. Ini kesempatan emas, karena kita tidak perlu melaksanakan test, cukup
dengan nilai raport.
Waktu terus berjalan,
tidak berlari dan tidak ngesot sih, tetap satu menit tigapuluh detik. Namun
ketika dalam penantian, waktupun terasa begitu lama. Keraguan demi keraguan pun
muncul. “bagaimana mungkin dengan basic Program Keagamaan bisa diterima
di universitas umum dengan jurusan yang tidak sesuai pula ?”. SPMB-PTAIN jalur
PPA pun datang bak malaikat membantu menenangkan kegalauanku. Sontak saja aku
mendaftar, tak ingin ketinggalan apalagi
hanya 25 orang dari satu sekolah yang diperbolehkan ikut. Singkat cerita akupun
mendaftar dengan tidak begitu yakin, pun tanpa ridho orangtua, hanya karena menjadikannya
plan B, “cari aman”, ke UIN Syarif Hidayatullah dengan pilihan jurusan
Psikologi, Pendidikan Bahasa Arab dan Sejarah Peradaban Islam.
Jiaaah..tiba juga tanggal
28 Mei 2013. Ya, hari pengumuman hasil SNMPTN pukul 16.00. Sepanjang hari terus
saja membayang di benakku, betapa senangnya ketika lulus dan bagaimana jika
tidak lulus ? Kegalauan pun bertambah karena hari itu ada jadwal
pengajian, itu artinya kita tidak bisa
membuka langsung hasilnya pada saat itu !! untungnya, ada Pak Fani Rahman
yang sangat setia dengan semua perihal SNMPTN. Sekitar pukul 5, akhirnya kami
pun mengetahui hasilnya. Dan aku, gagal kala itu. Mata ini ingin menangis namun
tak sanggup. “Masih ada SPMB-PTAIN dan coba daftar SBMPTN” pikirku. Aku masih begitu ingat salah seorang sahabatku, Azka yang membisikkan sesuatu "Kita harus menang didalam kekalahan. Salahsatu caranya, kita ucapkan selamat kepada yang lulus dengan bibir tetap tersenyum". Hmm... meski sulit aku ikuti saja perkataan dia, karena tidak ingin menjadi seorang yang benar-benar "kalah".
Dua hari kemudian,
pengumuman SPMB-PTAIN. Tak disangka, aku
diterima di jurusan Sejarah Peradaban Islam. Aku senang bercampur bingung. “bagaimana
ini ? haruskah diambil sedangkan orangtuaku kurang menyetujui ?”. Dan pada hari
itu pula aku berencana untuk mendaftar SBMPTN. Dengan segenap kebingungan yang
melanda, akupun mendaftar SBMPTN. Namun aku sudah pesimis akan berhasil di
SBMPTN, karena harus melalui test tulis dengan kelompok ujian Sosial Humaniora.
“bisa apa aku ? belajar IPS pun hanya sampai kelas X” pikirku.
Begitulah hari-hariku
selanjutnya, galau dan galau. Aku sudah sangat tertarik dengan UIN Syahid, namun orangtua keukeuh tidak mengizinkan.
Okelah, dengan segala pertimbangan dan kegalauan juga melalui perdebatan dengan
orangtua, akhirnya aku menetapkan pilihan “Tidak akan mengambil kursi yang
tersedia di UIN Syahid, akan berusaha lolos SBMPTN –sesuai dengan cita-cita
awalku-. Konsekuensi jika tidak lolos, aku akan menetap di pondok tercinta dan
kuliah di Institut Agama Islam Darussalam.”
Hari-hari berikutnya aku
rasa lebih enteng, karena aku sudah memiliki tekad untuk tidak jatuh
ketika tidak tercapai, karena aku siap menetap di pondok, namun demikian aku tetap
berusaha dengan berbekal buku latihan soal SBMPTN dan do’a dari semua pihak.
Singkat cerita –yah, jika
tidak disingkat aku takkan berhenti bercerita-, test SBMPTN pun dimulai, selama
dua hari. Sudah bisa ditebak bukan, bagaimana aku mengerjakannya ? Pada
test pertama, test potensi akademik berjalan lancar. Nah test kedua, test
kemampuan dasar umum mulai gelisah. Tak disangka soalnya begitu sulit –bagiku. Strategi
terakhir pun dilaksanakan, dengan “asal mengisi” dan cari jawaban yang “kira-kira
benar”. Hari terakhir –test akhir- lebih parah lagi. Dengan materi Sosial
Humaniora, aku kelabakan. Strategi diatas pun menjadi pilihan satu-satunya.
Yah, begitulah nasibku di SBMPTN menggunakan strategi “kira-kira” (bukan
kira-kira ninja ya..). oke, aku keluar ruangan dengan nafas lega. Terserah Allah
bagaimana hasilnya, yang penting aku sudah melaksanakan dan akupun punya plan
C.
Hari-hari setelah test
SBMPTN, sudah sangat kecil harapan yang tersisa dalam benakku bahkan
orangtuaku. Begitupun orang-orang,
banyak yang mengira aku sudah gagal dan akan masuk IAID saja. Baiklah, tak apa.
Karena siapa tau aku kuliah disana. Ketika ditanya perihal kuliah aku selalu
menjawab “Sedang berusaha ke UPI, tapi entah nanti jadinya kemana”. Ketika aku
ke pondok, orang-orang pondok, adik-adik kelas banyak yang mengatakan “Dedeh di
IAID ya ?” (mungkin karena akupun terlampau sering ke pondok). Aku selalu
menjawab “gak tau, sekarang lagi nungguin hasil SBMPTN ke UPI, kalau gak
keterima, Insya Allah di IAID”. Oke, fine. Aku tidak bermasalah karena aku
sudah tidak begitu berharap.
Pada tanggal sekian Juli
(aku lupa tepatnya), ada kabar bahawa pengumuman SBMPTN akan dibuka pada
tanggal 11 Juli. Aku begitu harap-harap cemas. Namun karena sudah pernah
mengalami kegagalan, akhirnya menjadi biasa saja. Orangtua dan kerabat
lebih gugup. Namun dengan tegas aku mengatakan “Mah, Pa, jangan terlalu
berharap, karena ini berat”. Mereka mengiyakan. Pada saat itu, aku dan orangtua
malah membicarakan perihal pendaftaran ke IAID, “mau diambilin formulir sama
siapa ?” “mau ngambil jurusan apa ?”
Tanggal 11 Juli pengumuman
akan dibuka pukul 17.00. Aku pergi ke tempat Bapak ngajar karena dirumah tidak
ada akses internet. Sambil menunggu jam tersebut, aku chatting dengan rekanku
yang sama-sama menunggu. Berbagai ungkapan dilontarkan, harapan, kecemasan dan
langkah yang akan diambil selanjutnya jika gagal. Diantara mereka aku merasa
paling rentan gagal karena dalam mengisi aku ceroboh, pun hanya sedikit sekali
persiapan.
Teng teng teng... pukul
17.00. kedua rekanku sudah membuka hasilnya, dan sayang sekali gagal. Akupun merasa
sudah begitu pesimis apalagi aku lupa nomor peserta hingga harus menelpon Mamah
terlebih dahulu. Sekitar 5 menit kemudian Mamah menyebutkan nomornya. Dannnnnn....
Pada awalnya aku belum
sadar “Loh kenapa ada jurusannya ?” Bapak melihat dari belakangku, “Pak,
keterima ih” kemudian beliau dengan menitikkan airmata bergumam “Alhamdulillah,
keterima”. Tak bisa dibayangkan bagaimana bergetarnya badanku saat itu, dengan
keringat dingin dan muka kaku tak percaya. “Allah, inikah janji-Mu (mengenai
ridho orangtua)?”.
Langsung saja aku mengabarkan langsung kepada Mamah, Kakek
dan Nenek. Mereka menangis terharu, akupun ingin menangis namun tertahan oleh
rasa senang dan belum sadar. Bapak mengabarkan kepada semua kerabat pun aku
mengabarkan kepada sahabat-sahabatku akan hadiah dari Allah yang begitu
mengejutkan ini.
Kini, enam bulan berlalu. Aku
sudah melaksanakan UAS pertamaku, artinya akan segera memasuki semester kedua.
Aku tak menyangka, Aku bahagia, aku berterimakasih pada-Nya. Sampai saat ini,
aku tidak tahu kenapa aku diterima dan entah do’a siapa yang dikabulkan oleh
Allah. Mungkin doa dari kerabat, teman-teman, guru ? Entahlah, namun aku sangat
yakin akan kekuatan ridho orangtua.
Nah, adik-adik.. semoga
kisahku bisa dijadikan pelajaran. Terus semangat berikhtiar ya, jangan lupa sertakan
Allah dalam setiap hal, dan patuhlah kepada orangtua, karena ridho
mereka adalah segalanya. ^^