Jumat, 19 Mei 2017

Sabtu, 25 Maret 2017

Part 1 - Cerita Kuliah di Pendidikan Khusus - Memupuk Cinta

Saya masuk di Departemen Pendidikan Khusus (PKh) pada tahun 2013. Jika Anda melihat postingan saya sebelumnya, Anda tentu paham bahwa pengetahuan saya mengenai dunia pendidikan khusus adalah NOL BESAR. Lha, wong saya pilih jurusannya hanya gara-gara nonton film.

Sebelum orientasi universitas, saya melihat postingan di grup mahasiswa baru jurusan PKh bahwa para mahasiswa baru ditugaskan untuk mencari tau tentang ABK. Saat itu, saya diantar oleh sepupu ke salah satu SLB di Kec. Ngamprah, Bandung Barat. Saat itu pula, kali pertama saya masuk SLB dan benar-benar berinteraksi dengan ABK. Saya tidak tahu tentang istilah tunanetra (hambatan penglihatan), tunarungu (hambatan pendengaran), tunagrahita (hambatan kecerdasan), tunadaksa (hambatan fisik dan motorik), tunalaras (hambatan emosi), autis, Down Syndrom, dsb. Tidak paham sama sekali. Satu hal yang saya ketahui bahwa ABK itu ada yang idiot (kata nenek saya namanya boloho), ada yang buta, tuli, suka ngiler, cacat, gagu, ya sebatas itu.

Awal kuliah adalah hal yang mengerikan bagi saya. Kepercayadirian saya yang memang rendah, semakin merendah, lagi dan lagi. Apalagi teman-teman di PKh 2013 adalah orang-orang hebat. Selama kuliah saya lebih banyak diam, dan takut ditanya, haha. Harapan saya saat itu hanya bisa UTS dan UAS dengan baik, mata kuliahnya lulus. Cukup. (Dan ingin segera lulus TT)
Mata kuliah yang sangat asyik sekaligus mengerikan bagi saya waktu itu adalah mata kuliah Anatomi Fisiologi dan Genetika. Dosennya adalah seorang dokter. Cerdas dan asyik sekali cara menjelaskannya. Ya, asyik, andaikan saat itu saya sudah tau dasar-dasar ilmu di mata kuliah tersebut. Saya merasa sangat bodoh. Haha. (Meski pada akhirnya ternyata mata kuliah lain yang dianggap enteng-lah yang nilainya jelek 😂)

Pada awal kuliah ini pula, saya observasi ke beberapa SLB yang ada di Kota Bandung -yang notabene adalah SLB pertama di Indonesia, dan ke SLB yang ada di Jogjakarta (SLB untuk anak multiple disability dan SLB untuk anak hambatan emosi dan sosial). Alhamdulillah, ketika bertemu secara langsung dengan ABK, saya baru 'ngeuh' dengan kekhususan mereka.

Namun, seberat apapun mata kuliah bagi saya, kecintaan pada pendidikan, khususnya pendidikan bagi ABK tidak berkurang malah semakin bertambah. Saya tetap senang kuliah, senang ketika dosen membukakan wawasan saya mengenai ABK. (Meskipun saya tidak aktif di kampus; bukan tipikal yang bercita-cita tinggi, ikut event ini itu, perlombaan ini itu; bukan mahasiswa yang tingkat keingintahuannya tinggi, yang sungguh-sungguh mendalami ilmu pendidikan khusus; tidak aktif di organisasi kampus, benar-benar hanya kuliah saja. Catat ya, jangan beranggapan saya mahasiswa intelek penuh semangat, saya hanya mahasiswa kupu-kupu biasa dan tak patut dicontoh! Hehe)

Di semester ketiga, saya sudah tidak begitu merasa terbebani, apalagi sejak semester dua saya dipertemukan dengan PAS-ITB yang menjadikan saya seolah memiliki keluarga di Bandung. Kecintaan saya terhadap dunia pendidikan berkembang ketika di PAS-ITB. Disanalah wawasan saya semakin terbuka lebar, dan PAS-lah yang mengenalkan saya terhadap banyak hal. Big thanks PAS!

Semester demi semester perkuliahan, saya semakin mencintai dunia pendidikan khusus (dan pendidikan secara umum). Saya senang bertemu anak-anak, saya senang ngobrol dengan anak-anak dan menemukan banyak hal dari mereka. Saya senang belajar mengaplikasikan sedikit ilmu yang saya dapat  kepada mereka. Mungkin salah satu korban terparahnya adalah adik-adik PAS, para murid les, dan Abang Hudza 😂
Dari interaksi dengan Abang Hudza, dan anak-anak lainnya, saya belajar berinteraksi dengan mereka (komunikasi efektif), dan banyak hal lainnya. Belajar mendalami jiwa seorang anak, bukan memaksakan jiwa mereka kepada diri kita -orang dewasa.

Oh ya, untuk belajar secara praktis, selain dari perkuliahan, saya senang kalau sudah membaca novel psikologi terutama yang berkaitan dengan pendidikan khusus. Salahsatunya novel Torey Hayden atas saran Kak Rismaya Nurmalasari. Thank u, Kak! 😘 Dari novel tersebut, saya belajar bagaimana memahami jiwa seorang anak dan pendekatannya agar interaksi guru-murid menjadi efektif.

(Kalau sudah begini, saya merasa terlalu full of love tapi pendalaman ilmunya sangat minim 😥. Ya, saya jarang baca buku, belajar lebih, bahkan yang direkomendasikan para dosen. Benar-benar mahasiswa payah! 😑)

Special part-nya, selain di PAS-ITB, saya pun berkesempatan 'belajar' di Rumah Autis Hasanah Bandung (kini bernama Rumah Hasanah Autism Center). Saya memilih RHAC sebagai tempat 'nugas' saya selama dua semester terakhir. Disana saya benar-benar belajar berinteraksi dengan anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) (sempurna dengan para terapis super). IYKWIM, komunikasi dengan anak ASD sangat menantang. Mereka seolah memiliki dunia sendiri, memiliki bahasa sendiri, memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan sesuatu. (I'll post it, later. Berkaitan juga dengan apa yang saya dapat dari novel Torey Hayden).

Dua semester itu sangatlah berkesan bagi saya. Selain terapis yang friendly, kondisi RHAC yang penuh cinta untuk ABK membuat saya tersentuh 😍
Saya merasa menemukan orang yang sepaham, bahwa mencintai ABK bukan hanya tentang mendalami ilmunya, tapi apa yang bisa kita lakukan demi memanusiakan mereka.

xxxxxxx

Saya semakin menyadari, proses belajar di kampus bukan tentang sebuah gelar, bukan tentang sebuah karier, lebih dari itu, saya belajar memupuk sebuah cinta yang kelak akan saya bagikan kepada anak-anak, terutama anak-anak saya (kelak) dan ABK, dengan jalan manapun. (Tidak selalu tentang menjadi guru yang tercatat oleh pemerintah 😊)
Cinta yang sesungguhnya, yaitu memenuhi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang tepat.

Selasa, 21 Maret 2017

Perjalanan Tes Masuk Perguruan Tinggi

Awal semester genap, adalah masa-masa galau siswa siswi kelas XII. Sejenak saya flashback ke memori masa SMA, bagaimana saya memilih jurusan kuliah.

Saya bersekolah di Madrasah Aliyah, dan mengambil Program Keagamaan (PK). Tahun pertama sekolah masih ada harapan ingin pindah ke Program IPA karena saya rasa passion saya disana. Tetapi takdir berkata lain, ilmu keislaman serta kenyamanan lingkungan sosial PK menarik saya untuk tetap disana.

Tahun-tahun awal, cita-cita saya mendalami ilmu Tafsir dan Hadits, karena saya merasa ilmu itu keren! (Sampai sekarang pun tetap keren di mata saya). Kita bisa menggali Al-Quran dan Sunnah dengan baik, yang pada akhirnya bisa memilah ajaran/pernyataan, dsb yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Ya, saya sebal sekali dengan yang hoax-hoax 😂

Akhir tahun kedua (kalau tidak salah), saya dan teman-teman kelas menonton film The Miracle Worker (true story kehidupan Hellen Keller). Saya menangis sesenggukan membayangkan betapa sulitnya hidup menjadi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Tetapi dengan penanganan yang tepat, ternyata dia bisa. Pada saat itu pula saya bertekad ingin membantu para ABK menjalani kehidupan dengan baik, mendapatkan hak sebagaimana mestinya, sebagi manusia.

Namanya masa remaja, proses meyakinkan mimpi itu tidak mudah. Berkali-kali ragu, dengan alasan inilah-itulah, sampai sempat mengalah demi suatu ketidakpastian.

Pada akhirnya, saya memutuskan untuk meneguhkan cita-cita, belajar ilmu pendidikan khusus. Karena saya menyadari, ilmu yang akan saya dapatkan ini insya Allah sesuai passion saya yang senang berbagi, bukan karena seseorang, bukan karena ambisi, dan bukan untuk karier ya, catat! (Karena selama ini banyak yang beranggapan kuliah di Pend. Khusus utk mengejar finansial)

Singkat cerita, masa pendaftaran SNMPTN pun datang, dan saya dengan -sok- PD nya memilih Pendidikan Luar Biasa UPI dan (saya lupa) jurusan lainnya di UPI pula. Padahal saya tau betul bahwa kecil sekali kemungkinannya. Lha yang dipilih kelompok IPS. Meskipun hanya melihat nilai raport, tapi kan raport saya isinya mata pelajaran keagamaan.

Selain SNMPTN, saya daftar SPMB PTAIN (seleksi masuk khusus PTAIN melalui jalur nilai raport) meskipun sebenarnya orangtua kurang merestui. Saya memilih jurusan Psikologi (kalau tidak salah), Pend. Bahasa Arab, dan Sejarah Peradaban Islam di UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta). Saya cari aman saja, karena sangat pesimis bisa masuk PTN.

Ketika pengumuman hasil SNMPTN, saya gagal. Sedih, tentu. Nyaris putus asa, iya. Tetapi di SPMB PTAIN, saya lolos masuk jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah. Kebingungan pun terjadi, orangtua tidak merestui, saya tidak begitu sreg juga, tetapi beberapa teman dan guru mendukung dan saya pesimis bisa masuk PTN lewat jalur tes tulis, SBMPTN. "Asal kuliah saja-lah," pikir saya.

Akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengambil kursi di UIN Syarif Hidayatullah (dzalim, ya Allah TT), dan mendaftar SBMPTN sebagai jalur terakhir. Kalau tidak lolos, saya kembali ke pondok saja. Saya memilih jurusan Pendidikan Khusus, Bimbingan dan Konseling, dan Pend. Bahasa Inggris-UPI. (Kacau balau urutan pilihannya 😂)

SBMPTN? Bah, mana bisa saya mengerjakannya. Materi soalnya materi IPS. Memang saya membeli buku latihan soal SBMPTN IPS, tapi saya hanya mengisi TPA, Bahasa Indonesia, dan (sedikit) Matematika saja. Malas belajar IPS, susah karena harus dari dasar.

Dari keseluruhan soal SBMPTN yang saya kerjakan sungguh-sungguh hanya TPA, bahasa Indonesia, dan Matematika. Sisanya saya pakai feeling! Ya, feeling! Karena beberapa materi IPS akrab di telinga kita.

Saya sudah tidak berharap lagi. Pasrah.

Ketika pengumuman hasil SBMPTN, ternyata saya lolos masuk Pendidikan Luar Biasa UPI. Kaget? Iya banget. Sampai gemetar.

Alhamdulillah, sekarang sudah mencapai detik-detik terakhir dan saya bahagia bisa belajar ilmu pendidikan khusus, meskipun pada awalnya saya sangat kelabakan. (Anak PK belajar ilmu sosial dan -di awal kuliah belajar- sains itu sesuatu banget 😥). Saya menemukan banyak hikmah, saya menemukan "diri" saya disana. (terlepas dari bagaimana saya menjalani kehidupan perkuliahan yang benar-benar datar 😂). Terlebih, saya berkesempatan belajar di Pembinaan Anak-anak Salman ITB. Meskipun tak lama, tapi ilmu dan kekeluargaannya sangat berpengaruh bagi kehidupan saya di Bandung.

So, apa hikmah dari perjalanan saya?

Bagi adik-adik yang akan lulus SMA, saya sarankan untuk:
1. Memohon ridho orangtua dan patuh kepada keduanya. Yang saya lupakan dari semua ketidakmungkinan ini adalah kekuatan doa orangtua :)
2. Memilih langkah yang sesuai dengan diri kita (minat dan bakat). Usahakan untuk tidak memaksakan diri memilih langkah yang sangat 'bukan gue banget'. Menjalani aktivitas sesuai dengan passion adalah kebahagiaan yang amat sangat. Be your self :)
3. Berkaitan dengan poin 2, usahakan tidak memilih jurusan demi sebuah karier, terutama untuk disiplin ilmu sosial. Usahakan tetap Lillah. :)
4. Untuk saran lainnya yang bersifat praktis, bisa Anda temukan dengan mudah dari berbagai buku, internet, guru BK, dll 😉

Bravo! Semoga sukses di mata Allah.

PS: sebelumnya saya pernah post yang serupa di Segenggam Cita dalam Doa

Minggu, 05 Maret 2017

Luka di Kota Kembang

Perantauan saya di Kota ini telah menginjak tahun keempat. Saya tinggal di Bandung ketika Kang Emil baru saja menjabat sebagai Walikota. Maka, saya tinggal ketika Bandung lagi 'bebenah' hingga kebagian 'yang enak-enaknya'.

Hampir tidak pernah ada keluhan selama lebih dari tiga tahun. Kemana-kemana lebih sering sendiri, 'ngangkot'. Ngajar privat, mencari keperluan untuk kuliah, silaturrahim, ikut kegiatan, atau sekadar jalan-jalan.

Hingga suatu hari, di bulan November saya kehilangan HP. Harga HP itu mungkin tidak seberapa, tetapi mengingat HP itu saya beli dengan hasil keringat saya sendiri, dan di dalamnya begitu banyak dokumen yang sangat berharga bagi saya, sedih rasanya.

HP itu hilang ketika saya lagi semangat-semangatnya kuliah, mengerjakan proposal penelitian dan mengajar. Hari itu, saya berangkat untuk mengajar privat. HP saya 'diambil' hanya dalam waktu sekian detik ketika saya siap2 turun dari angkot. Sedih, sebel, tapi ya sudahlah. Bukan rezeki saya, saya yang teledor, dan mungkin itu memang hak orang lain.

Kehidupan saya setelah itu berjalan normal.

Dua bulan setelahnya, saya pulang mengajar di daerah Cigadung. Saya berjalan menyusuri jalan Cigadung dan memasuki sebuah komplek rumah yang memang tidak begitu ramai, tapi tidak bisa dikatakan sangat sepi. Saya menuju sebuah rumah, namun terlihat sepi. Lalu, saya mengeluarkan HP untuk mencari tahu si empunya sedang kemana. Karena sepertinya tidak ada di rumah, saya bersiap pulang, sambil masih memegang HP. Di belakang, saya melihat ada laki-laki yang juga sedang berjalan searah dengan saya. Lalu, saya berjalan sambil melipir ke pinggir, ke pagar sebuah rumah untuk memberikan dia jalan. Saya tidak enak kalau berjalan di depan laki-laki.

Tetapi, laki-laki itu tidak lewat juga. Ketika saya lirik ke belakang, tiba-tiba dia menyergap dari belakang dan mengambil paksa HP saya. Saya berusaha merebutnya kembali dan berteriak. (Di dekat sana ada sebuah kosan yang masih ramai, dan rumah yang sedang ada penghuninya, saya berharap ada yang membantu, yang ternyata tidak ada :) ). Tapi tenaga saya tidak lebih besar daripadanya. Dia lari ke arah perumahan padat penduduk, yang banyak sekali gang yang membingungkan di dalamnya, sampai saya kehilangan jejak.

Saya dibantu oleh Bapak2 Gang Pasir Reuma yang sudah cukup berumur, ya Bapak2 yang sudah banyak ubannya itulah yang sigap membantu. Terimakasih banyak, Bapak2.

Saya gemetar, takut, ini kali kedua dan lebih sadis bagi saya. Saya berusaha menelpon teman menggunakan HP yang biasa saya gunakan telpon dan sms (yang tidak turut diambil), tetapi tidak aktif. Saya bukan ingin meminta pertolongan apa-apa, hanya mencari ketenangan. Pada akhirnya, saya terpaksa menelpon ayah. Beliau terdengar kaget, dsb. Saya merasa bersalah karena malah menebar kekhawatiran.

Lalu, saya ingat, teman saya bekerja di daerah sana. Saya langsung menuju kantornya, tanpa berniat apa2, hanya ingin mencari ketenangan. Tetapi melihat laptop, saya langsung berusaha melacaknya dengan akun Gmail. Nihil, HPnya sudah di non-aktifkan.

(Terimakasih, teman2 yang telah membantu)

Ya sudahlah, saya kembali merelakannya.

Hal yang menyakitkan dari kehilangan yang kedua ini bukan tentang HP-nya, tetapi dampak trauma-nya bagi saya. Saya berpikir, bisa saja kejadian hal yang lebih parah dari ini. Sangat mungkin. Apalagi di Bandung sedang marak pembegalan, dsb. (Alhamdulillah Allah tidak memberi saya luka fisik)

Kalau sedang berjalan dan di belakang saya ada orang (terutama laki-laki) saya langsung gemetar, apalagi kalau yang tiba-tiba menyalip dengan cepat dengan hentakan kaki.

Pernah saya dijaili teman PPL (laki2) dengan mengagetkan saya dari belakang. Saya marah, saya bilang saya tidak suka dikagetin. Dia hanya menatap aneh. Ya, memang aneh.

Mungkin ini lebay, masih banyak yang mengalami peristiwa lebih sadis dari saya. Mungkin diri saya saja yang tidak cukup kuat untuk menerima peristiwa ini.

Panjang ya? Kesimpulannya,

Bagi para pejalan kaki -> lebih berhati-hati lah, jangan terlena dengan someah-nya Bandung, karena orang Bandung yang abal-abal itu, yang "nggak Bandung banget" itu, masih banyak. Ini bukti keteledoran saya juga. Perempuan juga harus siap dalam kondisi seperti itu, jangan panikan seperti saya :)

Bagi orang yang telah berniat dan atau telah melakukan kejahatan -> coba pikirkan ulang dampaknya bagi korban, apabila itu terjadi pada orang yang Anda sayangi. Berbuat jahat tidak pernah dibenarkan. Saya berdoa, semoga harta haram yang Anda gunakan tidak berdampak pada keturunan Anda. Allah ampuni. Aamiin.

Bagi siapapun -> mari lebih peka terhadap sekitar, jangan terpaku pada gadget kalau di angkot maupun dimana, dan jangan terkungkung oleh kenyamanan dibalik pagar rumah :)

Anyway, saya terlanjur jatuh cinta sama Bandung, maka hal seperti ini bukan menjadikan saya membenci Bandung, melainkan ingin rasanya bisa berkontribusi menghilangkan berbagai ke'tidak-baik'an yang mencoreng Bandung :)

Terakhir, saya ucapkan terimakasih kepada yang selalu membersamai saya di tengah trauma, dan yang membantu mengembalikan ke-percayadiri-an saya. Juga orangtua, yang selalu mensupport saya dari jauh. Maaf telah membuat khawatir dan mengorbankan banyak hal untuk saya :)

Kota Kita, 05 Maret 2017

Dedeh Badrullaela