Sabtu, 25 Maret 2017

Part 1 - Cerita Kuliah di Pendidikan Khusus - Memupuk Cinta

Saya masuk di Departemen Pendidikan Khusus (PKh) pada tahun 2013. Jika Anda melihat postingan saya sebelumnya, Anda tentu paham bahwa pengetahuan saya mengenai dunia pendidikan khusus adalah NOL BESAR. Lha, wong saya pilih jurusannya hanya gara-gara nonton film.

Sebelum orientasi universitas, saya melihat postingan di grup mahasiswa baru jurusan PKh bahwa para mahasiswa baru ditugaskan untuk mencari tau tentang ABK. Saat itu, saya diantar oleh sepupu ke salah satu SLB di Kec. Ngamprah, Bandung Barat. Saat itu pula, kali pertama saya masuk SLB dan benar-benar berinteraksi dengan ABK. Saya tidak tahu tentang istilah tunanetra (hambatan penglihatan), tunarungu (hambatan pendengaran), tunagrahita (hambatan kecerdasan), tunadaksa (hambatan fisik dan motorik), tunalaras (hambatan emosi), autis, Down Syndrom, dsb. Tidak paham sama sekali. Satu hal yang saya ketahui bahwa ABK itu ada yang idiot (kata nenek saya namanya boloho), ada yang buta, tuli, suka ngiler, cacat, gagu, ya sebatas itu.

Awal kuliah adalah hal yang mengerikan bagi saya. Kepercayadirian saya yang memang rendah, semakin merendah, lagi dan lagi. Apalagi teman-teman di PKh 2013 adalah orang-orang hebat. Selama kuliah saya lebih banyak diam, dan takut ditanya, haha. Harapan saya saat itu hanya bisa UTS dan UAS dengan baik, mata kuliahnya lulus. Cukup. (Dan ingin segera lulus TT)
Mata kuliah yang sangat asyik sekaligus mengerikan bagi saya waktu itu adalah mata kuliah Anatomi Fisiologi dan Genetika. Dosennya adalah seorang dokter. Cerdas dan asyik sekali cara menjelaskannya. Ya, asyik, andaikan saat itu saya sudah tau dasar-dasar ilmu di mata kuliah tersebut. Saya merasa sangat bodoh. Haha. (Meski pada akhirnya ternyata mata kuliah lain yang dianggap enteng-lah yang nilainya jelek 😂)

Pada awal kuliah ini pula, saya observasi ke beberapa SLB yang ada di Kota Bandung -yang notabene adalah SLB pertama di Indonesia, dan ke SLB yang ada di Jogjakarta (SLB untuk anak multiple disability dan SLB untuk anak hambatan emosi dan sosial). Alhamdulillah, ketika bertemu secara langsung dengan ABK, saya baru 'ngeuh' dengan kekhususan mereka.

Namun, seberat apapun mata kuliah bagi saya, kecintaan pada pendidikan, khususnya pendidikan bagi ABK tidak berkurang malah semakin bertambah. Saya tetap senang kuliah, senang ketika dosen membukakan wawasan saya mengenai ABK. (Meskipun saya tidak aktif di kampus; bukan tipikal yang bercita-cita tinggi, ikut event ini itu, perlombaan ini itu; bukan mahasiswa yang tingkat keingintahuannya tinggi, yang sungguh-sungguh mendalami ilmu pendidikan khusus; tidak aktif di organisasi kampus, benar-benar hanya kuliah saja. Catat ya, jangan beranggapan saya mahasiswa intelek penuh semangat, saya hanya mahasiswa kupu-kupu biasa dan tak patut dicontoh! Hehe)

Di semester ketiga, saya sudah tidak begitu merasa terbebani, apalagi sejak semester dua saya dipertemukan dengan PAS-ITB yang menjadikan saya seolah memiliki keluarga di Bandung. Kecintaan saya terhadap dunia pendidikan berkembang ketika di PAS-ITB. Disanalah wawasan saya semakin terbuka lebar, dan PAS-lah yang mengenalkan saya terhadap banyak hal. Big thanks PAS!

Semester demi semester perkuliahan, saya semakin mencintai dunia pendidikan khusus (dan pendidikan secara umum). Saya senang bertemu anak-anak, saya senang ngobrol dengan anak-anak dan menemukan banyak hal dari mereka. Saya senang belajar mengaplikasikan sedikit ilmu yang saya dapat  kepada mereka. Mungkin salah satu korban terparahnya adalah adik-adik PAS, para murid les, dan Abang Hudza 😂
Dari interaksi dengan Abang Hudza, dan anak-anak lainnya, saya belajar berinteraksi dengan mereka (komunikasi efektif), dan banyak hal lainnya. Belajar mendalami jiwa seorang anak, bukan memaksakan jiwa mereka kepada diri kita -orang dewasa.

Oh ya, untuk belajar secara praktis, selain dari perkuliahan, saya senang kalau sudah membaca novel psikologi terutama yang berkaitan dengan pendidikan khusus. Salahsatunya novel Torey Hayden atas saran Kak Rismaya Nurmalasari. Thank u, Kak! 😘 Dari novel tersebut, saya belajar bagaimana memahami jiwa seorang anak dan pendekatannya agar interaksi guru-murid menjadi efektif.

(Kalau sudah begini, saya merasa terlalu full of love tapi pendalaman ilmunya sangat minim 😥. Ya, saya jarang baca buku, belajar lebih, bahkan yang direkomendasikan para dosen. Benar-benar mahasiswa payah! 😑)

Special part-nya, selain di PAS-ITB, saya pun berkesempatan 'belajar' di Rumah Autis Hasanah Bandung (kini bernama Rumah Hasanah Autism Center). Saya memilih RHAC sebagai tempat 'nugas' saya selama dua semester terakhir. Disana saya benar-benar belajar berinteraksi dengan anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) (sempurna dengan para terapis super). IYKWIM, komunikasi dengan anak ASD sangat menantang. Mereka seolah memiliki dunia sendiri, memiliki bahasa sendiri, memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan sesuatu. (I'll post it, later. Berkaitan juga dengan apa yang saya dapat dari novel Torey Hayden).

Dua semester itu sangatlah berkesan bagi saya. Selain terapis yang friendly, kondisi RHAC yang penuh cinta untuk ABK membuat saya tersentuh 😍
Saya merasa menemukan orang yang sepaham, bahwa mencintai ABK bukan hanya tentang mendalami ilmunya, tapi apa yang bisa kita lakukan demi memanusiakan mereka.

xxxxxxx

Saya semakin menyadari, proses belajar di kampus bukan tentang sebuah gelar, bukan tentang sebuah karier, lebih dari itu, saya belajar memupuk sebuah cinta yang kelak akan saya bagikan kepada anak-anak, terutama anak-anak saya (kelak) dan ABK, dengan jalan manapun. (Tidak selalu tentang menjadi guru yang tercatat oleh pemerintah 😊)
Cinta yang sesungguhnya, yaitu memenuhi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar