Rabu, 24 September 2014

Kamu, Dia, Kalian ~

Entah dari mana awalnya, tetiba aku jatuh cinta pada lagu ini, atau lebih tepatnya the lyrics of the song. Seperti biasa, lagu yang kusukai pasti mewakili perasaanku, sekarang maupun di masa lalu. Seperti lagu ini,

Kita bermain-main, siang-siang hari senin
Tertawa satu sama lain
Semua bahagia, semua bahagia

Kita berangan-angan, merangkai masa depan
Dibawah kerindangan dahan
Semua bahagia, semua bahagia

Matahari seakan tersenyum


Walau makan susah
Walau hidup susah
Walau tuk senyumpun susah
Rasa syukur ini karena bersamamu juga susah dilupakan

Kita berlari-lari, bersama mengejar mimpi
Tak ada kata tuk berhenti
Semua bahagia, semua bahagia

Kamu, dia, kalian, yang membersamaiku di perantauan tiga tahun paling berkesan dalam hidupku, there's experiences and knowledges, so much and so valuable.. I think it's sweetest memory..


dan kamu, dia, kalian yang menemaniku di perantauan tahun keempat paling bermakna, kalian yang bagiku; perapian dikala ku menggigil kedinginan


Dua periode perantauan itu titik dimana transisi amatlah berpengaruh pada diri pribadi, mindset, dan jalan hidup yang kupilih.

Terimakasih Allah,
Terimakasih kalian,
Terimakasih.

Senin, 22 September 2014

Kau Mengalihkan Duniaku

Sore sekali aku menyusuri jalan Gegerkalong ke arah barat, menuju kamar kontrakanku. Keindahan pemandangan didepan sana membelakakkan mataku yang letih kuajak beraktivitas seharian ini plus terkena debu jalanan. Matahari yang hendak terbenam dibentengi awan besar sehingga semburat cahayanya memancar disetiap sisi awan menghasilkan kombinasi warna jingga dan keunguan, kombinasi yang amat menawan.
Seperti biasa, kuhabiskan weekend dengan beraktivitas disana, PAS-ITB. Hal itu sudah menjadi komitmen diri –disamping komitmen struktural di PAS-ITB-. Tentu saja, karena itu merupakan konsekuensi keberadaanku disana. Ketika aku melakukan aktivasi kepada pihak MPA, otomatis hal tersebut menandakan bahwa aku harus mengikuti kegiatan disana. Hari sabtu dan ahad merupakan salah satu kegiatan wajib; konsolidasi, mempersiapkan media untuk mentoring ahad, mentoring kakak, dan mentoring ahad serta diakhiri evaluasi. Tidak pantas rasanya jika aku mengaku kakak pembina aktif PAS-ITB, tapi absen dalam kegiatan wajib tersebut, terkecuali jika memang ada agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan sama sekali.
Sore itu juga, betapa terasa ringannya hati ini setelah beraktivitas disana. Bahagia, tertawa bersama anak-anak kecil nan lucu dengan segala kepolosannya, tanpa noda. Bahagia. Memetik banyak pelajaran berharga, ilmu agama, teaching, parenting, kreatifitas, organisasi dan masih banyak lagi. Tentu saja, karena belajar tak mesti di bangku formal, tak mesti di usia sekolah. Belajar dimanapun, dari siapapun dan kapanpun. Belajar dari kehidupan. Entahlah, jika membahas rasa ini, sulit dideskripsikan. Deskripsi yang sudah saya tulis pun rasanya belum mewakili.
Tiba di kamar kontrakan, barulah lelah ini terasa. Selepas membersihkan diri dan sholat maghrib, langsung kurebahkan diri sembari membayang apa yang harus kulakukan malam ini. Selepas sholat isya, tak mampu lagi menahan kantuk, aku tertidur. Masa bodo dengan tugas yang belum kukerjakan. “Masih ada dini hari”, pikirku.
Berkat kasih sayang Allah, aku masih bisa menjalani hari; bangun pagi, menghadapi tugas, sholat, merapikan kamar, menyiapkan sarapan, berangkat kuliah. Alhamdulillah. Kuliah senin ini dimulai pukul 07.00 dan semangatku –yang sempat hilang- kini membara. Badanku terasa ringan sekali menjalani aktivitas perkuliahan.
Selain untuk sholat dzuhur, waktu istirahat kumanfaatkan untuk makan siang bersama salah seorang teman, Kak Safa, kakak pembina PAS-ITB satu semester denganku, pun satu jurusan dan satu kelas. Setelah memesan makan, akupun duduk santai sambil memperhatikan sekitar. Hmm telingaku seperti menangkap suara serta gaya bicara yang kukenal lantas kulirik orang yang duduk di bangku sebelahku. Hey! Itu Kak Anna! Kakak pembina PAS-ITB semester 56. Perbincangan seru pun tak terelakkan dan nampaknya cukup menggemparkan kantin. Perbincangan tak berlangsung lama karena masih ada agenda lain.
Baru saja kami memasuki gedung fakultas, Kak Sisit, kakak pembina PAS-ITB semester 58 menyapa kami. Tentu lebih sering berjumpa dengan beliau dikarenakan jurusan yang sama. Kami pun tak berbincang lama, karena aku harus bersegera menuju mushola.
Ditengah perjalanan menuju mushola, kulihat wajah yang amat kukenali, Kak Putri dan Kak Asna, kakak pembina PAS-ITB dengan semester yang sama denganku, semester 61. Lagi-lagi perbincangan tak berlangsung lama. Baru saja melangkah sejauh satu meter, kami melihat wajah yang kami kenali, Kak Degha! Ketika menghampiri Kak Degha, ternyata ada Kak Adis dan Kak Zakiah juga! Memang, mereka bukanlah kakak pembina PAS-ITB, tetapi mereka merupakan wali adik pada acara besar PAS-ITB liburan akhir semester lalu. Dikarenakan intensitas bertemu dengan mereka tak sesering dengan kakak PAS-ITB, kami pun berbincang dengan antusiasnya, meskipun hanya sekitar 5 menit. Ketika asyik berbincang, seseorang memanggil mereka, hmm sepertinya kenal. Ah, tentu saja! Kak Yulia, kakak pembina PAS-ITB semester 59. Memang mereka dari jurusan yang sama. Namun tak lama, kami berpamitan untuk segera ke mushola, akhirnya berpisahlah.
Setibanya di mushola, kami segera menuju toilet untuk berwudhu. Kamipun mengantri dan aku masuk lebih dulu, bergantian. Ketika menunggu Kak Safa, aku melirik ke sebelah kanan, ke tempat bercermin. Perempuan berjilbab merah itu.......... Sepertinya aku kenal. Kuperhatikan, dan hey Kak Janu! Beliau merupakan kakak pembina PAS-ITB dengan semester yang sama pula, semester 61. Perbincangan pun berlangsung meskipun tak cukup lama –karena itu d toilet juga-, tetapi seperti yang lainnya, tetap antusias.
Perkuliahan berakhir pukul 14.40. Akupun bersegera pulang. Baru saja keluar gedung fakultas, berjumpa lagi dengan salah satu kakak pembina PAS-ITB, Kak Dila dari semester 61 yang sedang mencari dosennya, lantas kamipun bertegur sapa. Subhanallah...
Pembina PAS-ITB memang berasal dari berbagai kampus yang ada di Bandung, namun demikian yang berasal dari kampusku -UPI Bandung- amat banyak, maka tidak heran jika di kampus seringkali berjumpa dengan kakak PAS-ITB di sudut manapun.

Ah, kamu! Iya, kamu! Dikarenakan kamu, mengenalkan aku dengan banyak orang hebat, menjembatani persaudaraan kami. Kamu, kukira hanya di weekend membersamaiku, ah bahkan kamu ‘ada’ kala aku berada di kampus. Kamu mengalihkan duniaku. *eaaaa

Sabtu, 20 September 2014

-Kembali-

Hilang, dua pekan terakhir ia lenyap
tersapu sederetan aktivitas
bersembunyi diantara keriuhan naluri dan kebisuan nurani
Lembut sekali ia bergerak
Meninggalkanku perlahan

Kacau, aku meracau
Menghitung detik jam berdentingan, tanpanya
Terpekur, kaku

“Bantu aku mencarinya!”
Teriakku pada teman
hingga suaraku memekikkan telinganya
dan pergilah ia dengan kecewa
dengan lemahku tak menemukannya sendiri
Kepergiannya seakan sambaran kilat
Mendatangkan airmata yang menghujani pipiku

Berpikir, berpikir, rasakan

Tidak! Aku tak bisa!

Lupakan, lupakan, berjalanlah

Lantas dengan gontai aku berjalan
menyusuri jalan itu, yang jelas ada dihadapanku
Hanya berjalan, terus berjalan
Berpegangan pada-Nya,
Menyusuri jalanan licin,
Menyingkirkan kerikil tajam, hati-hati
Terus berjalan menuju alamat yang kugenggam sejak dulu

Dan, hey!
Dia datang dengan sendirinya, perlahan
Mendekat, mendekat, semakin jelas
Dia datang
didatangkan oleh-Nya

Lantas kupeluk erat dirinya
Takkan kulepas

Gegerkalong Girang, 19 September 2014
Layla,
yang menemukan ‘semangatkuliah'-nya kembali

Kamis, 18 September 2014

Bahagia itu...

Bandung. Kota sejuta angkot. Tak usah khawatir jika tersesat, karena di kota ini angkot ada dimana-mana. Setahun merantau di kota Bandung, aku sudah terbiasa dengan ribuan angkot puluhan jurusan, sudah terbiasa naik turun angkot mencari alamat. Sebenarnya mudah saja untuk menemukan alamat dan akan menyusurinya menggunakan angkot. Kita hanya perlu tiga hal:

1.      GPS
2.      Koneksi untuk melihat rute angkot Bandung.
3.      Keberanian.
Tentu saja, hal ketiga yang paling utama.

Sore itu, polusi kendaraan serta aroma sampah lengkap menemaniku menuju angkot di seberang jalan Ganesha, angkot jurusan Cicaheum-Ledeng arah menuju Ledeng. Sesak didalam angkot? Sudah biasa. Kulirik penumpang disebelahku, terpaku pada gadget masing-masing, sibuk dan serius sekali. Tidak jauh berbeda denganku yang terpaku pada buku yang kubaca, malas sekali rasanya berinteraksi dengan yang lain. Sampai akhirnya...

Hey! Ada sepasang suami istri paruh baya dengan pakaian sederhana dan barang bawaan yang sedemikian banyaknya. Menarik sekali karena dengan kondisi mereka yang demikian serta diantara wajah-wajah yang masam dan tak peduli, mereka berbicara dengan santai dan senyum mereka, aduhai tulus sekali, penuh cinta. Bahagia. Akupun menyimpan kembali buku-ku dan berusaha memperhatikan sekitar dengan sesekali melempar senyuman.

Memang, bahagia itu sederhana.
Seperti hariku disana. Bahagia menatap wajah anak-anak kecil yang lucu nan polos. Menatap mereka yang asik berlarian kesana kemari, tanpa beban. Membiarkan tangan ini digenggamnya, memberikan rasa aman, mengantarnya berlari kesana kemari. Membiarkan ia terduduk dipangkuanku, bermanja-manja lantas bercerita. Sungguh lucu. Senyuman, tangisan maupun ngambek-nya. Bahagia.

Memang, bahagia itu sederhana.
Hmm nyatanya “bahagia” tidak mesti ditafsirkan pada kondisi nyaman yang didasarkan pada kenyamanan finansial. Bahagia itu dekat, bahagia itu bisa kita manage. Bahagia itu kelapangan hati tatkala berusaha menyingkirkan berbagai penyakit hati; iri, benci, ambisi akan duniawi yang pada akhirnya hanya melahirkan kegelisahan.

Allah. Ketika ada Dia, sungguh bahagia semakin nyata. Allah, tak bisa dispelekan. Allah, ampuni aku ketika kala itu, diri ini tak mendekatimu.

Bahagia itu sederhana. Sesederhana berbagi senyuman tulus kepada orang lain, kepada binatang bahkan kepada masalah yang kita hadapi. Sesederhana menumpangi angkot. Menatap berbagai warna kehidupan, mendengar berbagai irama kehidupan, lantas bersyukur kepada-Nya. Bahagia.

Senin, 15 September 2014

Dia Mengerti

Tanpa ampun, matahari menyengat bumi, semaunya. Jika saja atmosfer tidak cukup kuat untuk melindungi  bumi dari panasnya matahari, umm sepertinya sudah terbakar dan musnahlah.

Hmm bumi mengerti, matahari tidak bermaksud membakarnya, karena jika matahari tak ada, pohon-pohon dan bunga-bunga tak akan hidup sedangkan darisanalah oksigen terlahir. Jelas, bumi sangat mengerti maka ia tak berkutik, hanya terus menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Bukan, bukan ia tak mempedulikan panas yang menyengat, bukan. Bukan ia tak merasakan , hanya ia mengetahui bahwa meracau takkan menghilangkan panas yang ia rasa.

Hidup bumi tidak mudah. Sudah ia disengat matahari dan berjuang dengan dilindungi atmosfer, eh manusia tak tahu diri membuat berbagai teknologi pembaharu yang pada akhirnya membahayakan bumi. Ah, betapa rumit hidupnya, namun inilah bumi. Ia tetap menjalani kehidupan sebagaimana skenario Tuhan. Ia tetap berputar mengelilingi matahari sebagaimana perintah Tuhan, demi keseimbangan alam. Jika pada akhirnya ia bereaksi dengan menggoncangkan dirinya atau menggetarkan lautan hingga tumpah cairannya, itu bukan kebencian, hanya ia memiliki batas kekuatan.


Ia mengerti, itu saja.