Senin, 27 Oktober 2014

Belajar dari 'Mereka' (Part 1)

Seperti biasa, mentoring ahad selalu seru banget. Tak terkecuali hari ini. Tujuh dari sepuluh adik kelompokku hadir, lima laki-laki (Keandra, Nafil, Farrel, Dias, Musa) dan dua perempuan (Azka dan Nadzifah).

Manusia memang beragam karakter dan karakter tersebut sangat kuat pada anak-anak. Oke kita –orang dewasa boleh mengatakan anak-anak itu manja, cerewet, rewel, bandel (biasanya bagi anak yang aktif) dan berbagai judgement lainnya. Tetapi tidakkah kita belajar dari mereka? Tentulah kita mengetahui bahwa manusia terlahir dengan suci, maka demikianlah anak-anak, belum ada dosa yang mengotorinya.

Demikian pula dengan hari ini. Aku belajar banyak dari mereka. Bolehlah mereka mengatakan aku –dan kakak PAS lain adalah seorang “pembina adik”, tetapi sungguh mereka memberi banyak pelajaran berharga.

Anak-anak masih bersifat egosentris, begitupula dengan kedua adik cantikku, Azka dan Ceuceu (panggilan untuk Nadzifah). Ceuceu membawa cukup banyak bekal dan telah membuka bekalnya sejak awal datang. Azka yang bekalnya disimpan di ibunya –yang berada di FOTa nampak tergoda dengan makanan tersebut lantas dengan polosnya mengatakan “Ceuceu, Aca mau..” Kembali ke statement awal, anak-anak masih bersifat egosentris dan itu lumrah saja. Ya, Ceuceu menolaknya sembari membalikkan badan. Akhirnya aku masuk kedalam interaksi mereka dengan mengatakan kita harus berbagi. Ceuceu pun mau memberinya satu biskuit chococips mini. Melihat Ceuceu yang makan chococips dengan lahapnya, Azka pun meminta kembali. Awalnya Ceuceu hanya mengerutkan kening dan memajukan bibirnya tanda tak setuju, tetapi kemudian ia mengatakan kepadaku “Kakak, kan minta itu sekali aja jangan sering-sering!” Sudah kuduga ia tak mau membaginya. Lantas aku memberi pengertian kepada keduanya bahwa kita harus saling memberi tetapi kita tidak diperbolehkan untuk memaksa. Melihat situasi demikian aku pun langsung mengalihkan pembahasan dengan menggambar.

Aku kira, semua berjalan baik-baik saja, hingga aku selesai membagikan cat untuk setiap kelompok... Hey? Azka cemberut sembari merapikan barang-barangnya. Aku mengajaknya berbicara tetapi hanya gelengan dan anggukan kepala jawabannya. Hmm dan Ceuceu tidak ada di tikar. Aku simpulkan mereka berantem. Dan benar saja, ketika Ceuceu kembali ke tikar, mereka saling cemberut satu sama lain dan tak mau bersentuhan sedikitpun.

Tak lama kemudian, saatnya membuat propaganda untuk mentoring sosial ke CFD Dago dan kuajak mereka untuk membuat propaganda tersebut. Dan bimsalabim abrakadabra... dengan sendirinya mereka kembali bekerja sama, tersenyum tulus, seakan lupa dengan perteng. Aduhaii..

Bagaimana dengan kita? Mungkinkah ketika merasa kesal bisa kembali normal dan saling memaafkan dalam waktu singkat? Indahnya saling memaafkan, tenangnya melupakan pertengkaran dan tetap menjalin hubungan baik. Lihatlah! Mereka bisa!


Ya, kita bisa belajar dari mereka –anak kecil. Maka, janganlah kita bunuh karakter mereka dengan judgement negatif. Pelihara dengan baik fitrah ilahiah mereka hingga ia tumbuh subur. Sungguh, mereka adalah bintang, begitu nasihat Pak Munif Chatib dalam Orangtuanya Manusia. Sekecil apapun cahayanya tetap bisa menerangi –setidaknya ruang kecil dalam hidup kita.

Kamis, 23 Oktober 2014

Anugerah Tuhan ~

Lama sekali ingin menjumpaimu, barulah tadi sore kesampaian.



Setelah empat bulan tidak bertemu, banyak sekali yang berubah darimu, Key. Bahasamu tak lagi babling, kamu bercerita banyak. Banyak kata yang keluar, sudah semakin jelas suara dan intonasinya meski huruf konsonan masih mengambang pun memang perlu pemikiran dan konsentrasi lebih untuk mengerti bahasamu.

Ketika aku memasuki rumahmu, kamu berlari ke arahku, loncat kegirangan. Aku tau, sedikitnya kamu mengingatku meski perjumpaan kita hanya sesaat dan mungkin tak berarti banyak untukmu, tetapi kamu tetap seramah dulu -ketika aku mengenalmu. Taukah kamu saat itu aku luar biasa bahagianya melihatmu yang semakin cantik, aktif dan banyak kemajuan. tentu kamu tau, kamu merasakannya, aku yakin itu.

Aku tau, kamu ingin bercerita lebih banyak. Tentang gigi yang kamu cabut sendiri: lama dan lancar sekali kamu menceritakannya -tentu menggunakan bahasamu-. tentang kamu yang tidak menangis kala kesakitan, tentang rambut yang kamu potong sendiri....ah tapi mungkin kamu kurang puas karena aku masih kesulitan memahami bahasamu. Terbayang jelas tatapanmu ketika selesai berbicara, tatapan keheranan, tatapan ketidakpuasan. Keysa, aku berusaha memahamimu. Terimakasih atas ketidakmarahanmu dengan sikapku.

Keysa, aku akan menjadi pendengar setiamu tak peduli mengerti atau tidak, aku tetap bisa merasakan getar hatimu. Aku takkan melarangmu menggunakan bahasamu sendiri, gunakan saja.

Semoga aku bisa berkunjung lagi; harus! Insya Allah.

Selasa, 14 Oktober 2014

Selalu Ada Hikmahnya


Selalu ada hikmahnya, seperti beberapa hari terakhir di jalan depan kosan yang sedang diperbaiki. jalan ditutup, kendaraan bermotor tidak bisa lewat. alhasil telinga ini terbebas dari suara bising kendaraan.

Upsss bukan itu saja hikmahnya, ada yang lebih spesial. Dari sore hingga malam hari -jika cuaca sedang berpihak, anak-anak asik bermain sepeda, ada yang sudah mahir hingga bisa berkejaran, pun ada yang baru belajar dibantu oleh orangtuanya. Adapula yang tidak memiliki sepeda, bergantian temannya meminjamkan, atau jika tak ada yang meminjamkan pun mereka tak hilang keceriaan. Mereka berlarian mengejar temannya yang bersepeda, tertawa bahagia. Ibu-ibu yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya, bapak-bapak yang baru selesai bekerja, berkumpul di jalanan tersebut, sekedar 'nongkrong', bertegur sapa membicarakan hal-hal ringan sembari mengawasi anak mereka. Aduhai..

Entahlah aku yang selama ini kurang memperhatikan lingkungan atau memang sungguhan, aku jarang sekali melihat pemandangan seperti ini. Apa yang kulihat lebih banyak kesibukan dirumah masing-masing ketimbang interaksi dengan tetangga.

Terkadang pikiran konyol mendera, "andai jalanan selalu se-sepi ini, andai jalanan ini selalu ditutup, lantas anak-anak mendapat tempat bermain baru, orang-orang berjalan kaki saling bertegur sapa." Hmm tapi itu konyol. Ini Kota Bandung, orang-orang berdesakkan tinggal di ibukota Jawa Barat ini. Ini bukan Rancah, kampungku yang masih sepi, sejuk, jauh dari hiruk pikuk kota. Anak-anak bermain di 'halaman rumah tanpa pagar', sawah, lapangan bahkan kebun dan hutan. Ibu-ibu mengobrol santai di sore hari bersama tetangga, saling berkirim makanan, saling membantu. Bapak-bapak sibuk bekerja tanpa melupakan kesejahteraan kampungnya; memperbaiki jalan, membantu pembangunan rumah, mesjid, dsb.

Sudahlah. Perkataanku memang absurd. Syukur jika ada yang paham, jika tidak pun semoga tidak menjadi salah paham fatal.