Rabu, 06 November 2013

Perjumpaan dengan Bang Tere Liye -part 2


Sesi pertama diisi oleh kang Fatih Zam. Seorang novelis asal Banten yang jatuh cinta kepada Bandung dan beliau merupakan alumni UNPAD sendiri. Pembawaannya yang “kocak”, cukup membuatku terbawa arus... Satu hal yang membuat aku terpana, kisah mengenai perjalanan kepenulisannya di UNPAD. Semenjak semester 3 ia sudah tidak menengadahkan tangan kepada orangtua lagi dan bisa menghidupi dirinya dengan jalan menulis. Ternyata, pihak rektorat UNPAD sangat menghargai mahasiswa yang produktif menulis, terbukti dengan adanya beasiswa dan atau uang saku bagi mahasiswa yang tulisannya dimuat di media massa.

Kang Fatih Zam pun berbagi banyak tips supaya tulisan kita lolos di media massa maupun penerbit. Karena dengan menulis pun kita bisa menghidupi diri kita –selain bermanfaat bagi orang lain.
Banyak hal yang menarik dalam sesi ini, akan tetapi aku sangat tidak sabaran sekali ingin bercerita tentang momentum seminar Tere Liye.

Ya, penulis favoritku yang aku kagumi lewat tulisannya yang lebih ajaib daripada ustadz sekalipun. Detik pertama aku melihat wajahnya yang tak asing bagiku, aku histeris (memalukan ._. ) dan anehnya, peserta lain memandangnya dengan wajah biasa saja, seakan orang yang berada ditengah-tengah mereka itu bukan orang penting. Ternyataa...mereka belum mengetahui wajah Tere Liye (*gubrak).

Pertama kali aku mendengar perkataannya, aku kaget. Ternyata logat bicara beliau sangat unik, ketika saya dengarkan dengan seksama, nyaris mirip dengan mantan presiden BJ. Habibie bahkan lebih unik dari itu.

Dengan tegasnya beliau mengutarakan kekecewaannya terhadap panitia yang terkesan mengulur waktu dan membuat beliau tampil satu jam lebih lambat dari jadwal yang ditentukan. Jarang loh trainer yang seperti ini.

Aku sangat suka cara Bang Tere membawakan materi. Terkesan religius namun ia kemas dalam gaya sastranya yang fenomenal. Sungguh, Tere Liye di dunia maya yang menginspirasi selama ini tak ada apa-apanya dibanding Tere Liye di dunia nyata.

Karena ke”unik”annya, sampai kesulitan menggambarkan sosok Tere Liye. Sederhananya, Tere Liye adalah seorang ustadz yang tidak ber”casing” ustadz. Tetapi ia lebih istimewa dari seorang ustadz karena fahamnya akan Islam sangat tegas dan mendalam serta dakwahnya yang luas. Contoh sederhananya ia tidak ingin di foto, apakah itu secara formal (foto bersama) maupun foto paparazzi. Dan ditengah training, ia seringkali mengatakan “saya ini narsis, mengisi training dimana-mana”. Bisa disimpulkan, ia tidak ingin dikagumi secara fisik, lebih dari itu ia ingin apa yang ia utarakan bermanfaat bagi orang kebanyakan.

Cerita pertama yang beliau utarakan dan yang mewakili talkshow saat itu adalah kisah seekor burung pipit, penyu dan pohon kelapa. Saya tidak mengutip redaksi kisah itu seutuhnya, hanya menceritakan kembali sinopsisnya. Burung pipit, penyu dan pohon kelapa bersahabat dengan baik. Suatu hari, mereka bertukar cerita tentang pengalamannya di tahun-tahun terakhir. Burung pipit menceritakan penglamannya dalam menjelajahi banyak pulau. Menyaksikan banyak hal yang menakjubkan. Begitupun penyu, dengan masa hidupnya yang lebih lama, ia telah melintasi banyak samudera, berenang dengan lincah dan menyaksikan banyak hal menakjubkan pula. Sekarang giliran pohon kelapa. Apa yang akan ia ceritakan ? sedangkan bertahun-tahun ia tidak bisa pergi kemana-mana, bahkan menggeserkan badannya pun tak mampu. Apakah hanya tumbuh tinggi, menatap sunset, sunrise serta gulungan ombak dari tepi pantai ?  Keadaan tersebut bukan menjadikan ia tidak bisa melakukan hal yang hebat. Buahnya ranum, jatuh terbawa ombak. Digiring ke tengah lautan. Karena buahnya tahan banting, maka sampailah di pulau lain. Lantas tumbuh, meninggi, menghasilkan buah kembali, jatuh digulung ombak, digiring ke pulau lain, dan seterusnya.

Burung pipit dan penyu pun terpana. “Aduhai, jangan-jangan pohon kelapa yang tumbuh elok di seberang sana itu berasal dari buahmu ? aku mengenalnya”.

Nah loh, kasih sayang Tuhan memang luas. Bukan berarti dengan keterbatasan membuat kita tidak mampu memberi manfaat bagi orang lain. Poin inilah yang aku garis bawahi. “bermanfaat bagi orang lain”.

Saat ini, orang-orang banyak menulis untuk pasar. Artinya tujuan menulis adalah untuk sesuatu hal berbentuk finansial. Meskipun hal tersebut tidak dapat dipungkiri, tetapi tujuan menulis haruslah untuk memberi kebermanfaatan bagi pembaca. Bagi Bang Tere, tulislah sesuatu yang “harus” dibaca orang lain, bukan “ingin” dibaca orang lain.

Oke, di akhir cerita aku simpulkan : “Kang Fatih Zam mengajak menulis untuk finansial” dan “Bang Tere mengajak menulis sebagai salah satu hal yang bermanfaat”.

-end aja deh ._. -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar