Sesi
pertama diisi oleh kang Fatih Zam. Seorang novelis asal Banten yang jatuh cinta
kepada Bandung dan beliau merupakan alumni UNPAD sendiri. Pembawaannya yang
“kocak”, cukup membuatku terbawa arus... Satu hal yang membuat aku terpana,
kisah mengenai perjalanan kepenulisannya di UNPAD. Semenjak semester 3 ia sudah
tidak menengadahkan tangan kepada orangtua lagi dan bisa menghidupi dirinya
dengan jalan menulis. Ternyata, pihak rektorat UNPAD sangat menghargai
mahasiswa yang produktif menulis, terbukti dengan adanya beasiswa dan atau uang
saku bagi mahasiswa yang tulisannya dimuat di media massa.
Kang
Fatih Zam pun berbagi banyak tips supaya tulisan kita lolos di media massa
maupun penerbit. Karena dengan menulis pun kita bisa menghidupi diri kita –selain
bermanfaat bagi orang lain.
Banyak
hal yang menarik dalam sesi ini, akan tetapi aku sangat tidak sabaran sekali
ingin bercerita tentang momentum seminar Tere Liye.
Ya,
penulis favoritku yang aku kagumi lewat tulisannya yang lebih ajaib daripada
ustadz sekalipun. Detik pertama aku melihat wajahnya yang tak asing bagiku, aku
histeris (memalukan ._. ) dan anehnya, peserta lain memandangnya dengan wajah
biasa saja, seakan orang yang berada ditengah-tengah mereka itu bukan orang
penting. Ternyataa...mereka belum mengetahui wajah Tere Liye (*gubrak).
Pertama
kali aku mendengar perkataannya, aku kaget. Ternyata logat bicara beliau
sangat unik, ketika saya dengarkan dengan seksama, nyaris mirip dengan mantan
presiden BJ. Habibie bahkan lebih unik dari itu.
Dengan
tegasnya beliau mengutarakan kekecewaannya terhadap panitia yang terkesan
mengulur waktu dan membuat beliau tampil satu jam lebih lambat dari jadwal yang
ditentukan. Jarang loh trainer yang seperti ini.
Aku
sangat suka cara Bang Tere membawakan materi. Terkesan religius namun ia kemas
dalam gaya sastranya yang fenomenal. Sungguh, Tere Liye di dunia maya yang
menginspirasi selama ini tak ada apa-apanya dibanding Tere Liye di dunia nyata.
Karena
ke”unik”annya, sampai kesulitan menggambarkan sosok Tere Liye. Sederhananya,
Tere Liye adalah seorang ustadz yang tidak ber”casing” ustadz. Tetapi ia lebih
istimewa dari seorang ustadz karena fahamnya akan Islam sangat tegas dan
mendalam serta dakwahnya yang luas. Contoh sederhananya ia tidak ingin di foto,
apakah itu secara formal (foto bersama) maupun foto paparazzi. Dan ditengah training,
ia seringkali mengatakan “saya ini narsis, mengisi training dimana-mana”. Bisa disimpulkan,
ia tidak ingin dikagumi secara fisik, lebih dari itu ia ingin apa yang ia
utarakan bermanfaat bagi orang kebanyakan.
Cerita
pertama yang beliau utarakan dan yang mewakili talkshow saat itu adalah kisah
seekor burung pipit, penyu dan pohon kelapa. Saya tidak mengutip redaksi kisah
itu seutuhnya, hanya menceritakan kembali sinopsisnya. Burung pipit, penyu dan
pohon kelapa bersahabat dengan baik. Suatu hari, mereka bertukar cerita tentang
pengalamannya di tahun-tahun terakhir. Burung pipit menceritakan penglamannya
dalam menjelajahi banyak pulau. Menyaksikan banyak hal yang menakjubkan. Begitupun
penyu, dengan masa hidupnya yang lebih lama, ia telah melintasi banyak
samudera, berenang dengan lincah dan menyaksikan banyak hal menakjubkan pula. Sekarang
giliran pohon kelapa. Apa yang akan ia ceritakan ? sedangkan bertahun-tahun ia
tidak bisa pergi kemana-mana, bahkan menggeserkan badannya pun tak mampu. Apakah
hanya tumbuh tinggi, menatap sunset, sunrise serta gulungan ombak dari tepi
pantai ? Keadaan tersebut bukan
menjadikan ia tidak bisa melakukan hal yang hebat. Buahnya ranum, jatuh terbawa
ombak. Digiring ke tengah lautan. Karena buahnya tahan banting, maka sampailah
di pulau lain. Lantas tumbuh, meninggi, menghasilkan buah kembali, jatuh
digulung ombak, digiring ke pulau lain, dan seterusnya.
Burung
pipit dan penyu pun terpana. “Aduhai, jangan-jangan pohon kelapa yang tumbuh
elok di seberang sana itu berasal dari buahmu ? aku mengenalnya”.
Nah
loh, kasih sayang Tuhan memang luas. Bukan berarti dengan keterbatasan membuat
kita tidak mampu memberi manfaat bagi orang lain. Poin inilah yang aku garis
bawahi. “bermanfaat bagi orang lain”.
Saat
ini, orang-orang banyak menulis untuk pasar. Artinya tujuan menulis adalah
untuk sesuatu hal berbentuk finansial. Meskipun hal tersebut tidak dapat
dipungkiri, tetapi tujuan menulis haruslah untuk memberi kebermanfaatan bagi pembaca.
Bagi Bang Tere, tulislah sesuatu yang “harus” dibaca orang lain, bukan “ingin”
dibaca orang lain.
Oke,
di akhir cerita aku simpulkan : “Kang Fatih Zam mengajak menulis untuk
finansial” dan “Bang Tere mengajak menulis sebagai salah satu hal yang
bermanfaat”.
-end
aja deh ._. -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar